Minggu, 17 Februari 2008

Hijau (menjadi) Pilihan?


Sekalipun bukan hal yang baru, tetapi sebuah film yang disusun oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore seperti menyentak kesadaran banyak orang. Isu perubahan iklim dan pemanasan global laris menjadi berita di setiap media, menjadi bahan obrolan warung kopi hingga pembahasan serius di Senayan. Kampanye hijau mulai menghiasi ruang berita surat kabar.

Hal ini adalah indikasi yang baik. Ketika kesadaran masyarakat kian pulih akan ancaman kelangsungan hidup penghuni bumi. Walau hingga saat ini juga masih tidak terbilang jumlah yang menganggap hal ini sekedar fiksi dan tidak nyata.

Pemda DKI Jakarta dalam posisi limbung untuk memenuhi ketentuan 30 % ruang terbuka hijau (RTH) yang saat ini hanya ada tersedia 9 %. Di lain pihak upaya pemenuhan terhadang masalah ketersedian lahan.

Ada banyak solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan. Di antaranya dengan menetapkan aturan koefisien dasar hijau (KDH). Ketentuan ini akan menentukan berapa besar lahan pada sebuah site yang boleh dilakukan perkerasan.

Jikalau setiap rumah menyumbang 10 meter persegi lahan untuk dijadikan area resapan air, dikalikan 1 juta rumah se-DKI Jakarta, maka lahan yang tersedia untuk daerah resapan adalah 10 juta meter persegi (10 km2). Luasan tersebut setara dengan 1,52 persen dari luas Jakarta secara keseluruhan.

Tetapi kiranya menjadi hijau jangan melulu diartikan selamanya menamam pohon atau tetumbuhan. Dalam hemat saya menjadi hijau lebih kepada 'menghijaukan' pikiran. Hijau bisa juga diartikan sebagai upaya mengkonservasi energi, meredam pelepasan emisi karbon, dan lain sebagainya. Namun sering kali hal ini menjadi sulit karena banyak hal yang “hijau” bersinggungan gaya hidup.

Jika sempat sesekali anda berjalan-jalan di sekitar Taman Menteng. Kurang lebih berjarak 100 meter dari taman tersebut ada beberapa rumah yang membeton halaman mukanya. Di atas perkarangan yang permukaannya sudah diperkeras itulah berjejer dengan rapih sejumlah mobil.

Dalam sebuah kunjungan ke kota Bandung di akhir tahun 2007, saya dan seorang rekan berkendara menuju rumah rekan yang lain. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta, Bandung tentunya berhawa lebih sejuk. Berikut cuplikan perbincangan kami dalam perjalanan tersebut.
Rekan : “ Loe ngapain Ko? “
Saya : “ Buka kaca mobil. “
Rekan : “ Gak usah, gue mau idupin AC. “
Saya : “ Hah! Yang bener aja. “
“ Gak pake AC aja gue udah menggigil, apalagi pake AC. “
Rekan : “.... “

Dan akhirnya pun kami melaju dengan kaca terbuka.

Berikut juga cuplikan perbincangan yang saya kutip dari jurnal on-line arsitektur.net Volume 2 Nomor 1 tahun 2008 :

Klien : Kamarnya terlalu sempit.
Saya : Sebenernya ini cukup. Ruang memang sengaja saya buat tipis supaya bisa terjadi cross sirculation udara.
Klien : Buat apa? Saya kan mau pake ac di semua kamar.
Saya : Kalau bisa tidak pake ac kenapa harus pake ac?
Klien : Tapi nanti nyamuknya masuk.
Saya : Kan bisa pake kawat nyamuk.
Klien : Tapi kamarnya terlalu sempit. Dan saya mau selalu pake ac.
Saya : Listriknya akan boros.
Klien : Biarin. Saya ini yang bayar.
(Issue global warming yang sangat mencemaskan, buat beberapa orang, ternyata masih fiktif.)

Dan disinilah letak tantangan berat bagi arsitek, sebelum meng”hijaukan” kliennya ia harus terlebih dahulu “menghijaukan” dirinya sendiri. Untuk itu upaya meyakinkan klien adalah sebuah perjuangan terlebih jika hal tersebut adalah upaya untuk meyakinkan klien untuk merubah pola dan gaya hidupnya. Merubah gaya hidup adalah perjalanan yang panjang. Kiranya gaya hidup kita yang akan membawa diri kita selanjutnya, apakah selamat atau tenggelam? Hijau seharusnya adalah sebuah keniscayaan bukan pilihan.