Sabtu, 27 Desember 2008

Rumah Pori Batam

Setahun yang lalu saya diminta untuk merancang sebuah rumah tinggal milik seorang rekan yang baru saja berkeluarga di Batam. Maka mulailah saya membuat coretan sekedarnya hingga akhirnya saya berkunjung ke lahan yang hendak dibangun.

Rumah ini berdiri pada sebuah kompleks perumahan di Sei Panas, Batam, sehingga rumah rekan saya ini sebelumnya serupa bentuknya dengan tetangga kiri, kanan dan depannya.


Denah dasarnya kami tetap pertahankan agar dapat menekan biaya pembangunan.



Untuk mengatasi penghawaan dalam ruang maka saya mengusulkan dinding berpori, sehingga ketergantungan pada AC dapat ditekan sebisa mungkin, dengan demikian penggunaan listrik juga dapat ditekan. Dinding berpori ini juga berguna untuk membentuk fasade bangunan, sebagai medium bernafas bangunan, dan juga untuk keamanan rumah ini sendiri.






Setelah dinding pori ini baru di letakkan pintu dan jendela, sehingga hingga malam hari sekalipun pintu dan jendela dapat dibuka, tanpa harus takut pihak yang tidak diinginkan untuk masuk ke rumah. Di saat yang bersamaan, angin bisa masuk secara bebas sehingga penggunaan AC dapat diminimalisir.

Beberapa waktu yang lalu saya datang berkunjung ke rumah ini. Mungkin karena cuaca sedang mendung dan sebelumnya sudah turun hujan, di rumah ini Batam serasa Bandung. Cukup dingin, dan saya pun menyeruput teh hangat.... Hmm.... nikmatnya!


Jumat, 05 Desember 2008

Ketika Bosan...

Apa yang dilakukan ketika sedang bosan? Kalau saya memilih olahraga pergelangan tangan, berikut hasilnya





Senin, 24 November 2008

Munas IAI XII Makassar

Ada yang "panas" di Munas IAI kali ini. Setelah Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Nasional sebelumnya diterima, berturut-turut Ketua Dewan Kehormatan (demisioner), pak Michael Sumarijanto, Ketua Umum dan Sekjen (demisioner) "dibakar" di depan peserta Munas.





Tentu bukan dalam konotasi yang buruk. Tetapi beliau bertiga secara berurutan diminta untuk terlibat dalam sebuah tarian khas Sulawesi Selatan yang menggunakan api. Sementara itu tepat di ruangan sebelah, persiapan untuk menghitung suara yang masuk untuk memilih Ketua Umum IAI periode berikutnya sedang disiapkan.

Penghitungan suara sepertinya juga tidak mudah, dimulai dari polemik 1 atau 2 putaran perhitungan suara hingga penghitungan suara sendiri yang memakan waktu hingga lepas tengah malam. Tepatnya hingga jam 2 dinihari.

Satu hal yang sangat berkesan bagi saya adalah anggota IAI senior, yang tidak lagi bisa dikatakan muda tetap hadir di ruangan mengawal perhitungan suara hingga selesai. Pak Suwondo, Pak Han Awal, Pak Ruchjat, Pak Zachry, Pak Gunawan Tjahjono, Pak Adhi Moersid, Pak Suwarmo, Pak Yuswadi Saliya berhasil mengalahkan kantuk hingga lewat pukul 2 malam itu. Sungguh saya terkagum dengan dedikasi beliau-beliau terhadap IAI, organisasi yang mereka besarkan.

Dan perhitungan suara berlangsung agak tegang, suara yang masuk kepada tiap calon saling susul-menyusul. Hingga akhir penantian tiba. Terpilih sosok yang akan memimpin IAI hingga 2011 nanti.



Selamat pak Endy. Saya titipkan mimpi saya ke Bapak.

Jumat, 21 November 2008

Bandara Baru







Sekitar pertenahan bulan Juni yang lalu, ketika saya berkesempatan pulang ke Makassar, sekaligus untuk menghadiri acara Lomba Keterampilan Siswa waktu lalu. Di dalam perjalanan dari dan menuju Bandar Udara, saya bertanya-tanya akan hadirnya gundukan-gundukan bangunan baru di dekta bandara.

Malam kemarin setelah mendarat dari Denpasar, akhirnya pertanyaan itu terjawab. Terminal baru yang menghubungkan Makassar dengan kota lain telah hadir. Hadir lebih baik sepertinya dibanding bangunan bandara yang lama, yang memang sudah dapat menampung kegiatan di bandara tersebut.

Sempat saya bertanya-tanya kepada beberapa rekan, dan seperti rekan-rekan di Atelier 6 yang patut di beri penghargaan untuk karya yang satu ini.

Kamis, 20 November 2008

Seandainya...


Saat ini saya sedang menanti pesawat udara yang akan membawa saya ke Makassar, ke perhelatan Munas IAI. Penerbangan saya yang tertunda, sehingga saya dapat menulis sedikit di buku catatan.

Sepertinya kondisi penerbangan di tanah air sudah jauh berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Bepergian dengan pesawat udara menjadi lazim bagi semua kalangan. Harga yang makin terjangkau dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan sepertinya menjadi sebab mengapa khalayak marak mengguna moda transportasi yang satu ini. Juga menjadi sebab maraknya maskapai penerbangan di tanah air.

Teringat oleh sebuah berita kurang lebih setahun yang lalu ketika sebuah maskapai penerbangan swasta nasional membeli hingga ratusan unit pesawat baru untuk melayani puluhan jalur penerbangan dalam dan luar negeri.

Teringat pula saya akan mimpi seorang anak negeri yang saya kagumi, BJ Habibie. Bahwa kita bepergian di negeri sendiri dengan kendaraan yang kita buat sendiri. Sepertinya beliau dahulu sudah dapat memprediksikan akan maraknya penerbangan di Indonesia, hingga terluncur ide untuk membangun kemandirian bangsa dengan N2130, pesawat penumpang bertenaga jet.

Bayangkan jikalau waktu itu N2130 benar-benar terwujud, dan maskapai nasional yang berencana menambah hingga ratusan pesawat itu memesan 10% persen saja dari kebutuhannya kepada IPTN, tentunya akan menjadi hal yang luar biasa bagi IPTN dan kita sebagai bagsa pemilik IPTN.

Hanya sayang mimpi beliau terpaksa tidak dapat dituntaskan. Seperti banyak pihak yang masih belum rela melihat kita mandiri.

Seperti tidak tuntas sekarang, tapi saya yakin ini mimpi yang arus dituntaskan oleh kita, semua yang mengaku diri sebagai bangsa Indonesia.

Selasa, 14 Oktober 2008

Alternatif Mengelola Energi

Secara kebetulan saya sedang mencari-cari informasi mengenai spesifikasi photovoltaic, setelah klien saya setuju atas usulan hybrid-power, untuk tidak sepenuhnya bergantung pada PLN karena belakangan perusahaan listrik negara ini sedang dirundung defisit listrik.

Kemudian terlintas pemikiran untuk mengusulkan pengadaan listrik yang bertumpu pada masyarakat. Kurang lebih demikian. Apabila ada warga masyarakat yang menyediakan listrik secara mandiri, kelebihan daya dari pemakaian domestik yang tidak tertampung pada baterai penyimpan (atau tanpa baterai) akan secara otomatis masuk ke jaringan saluran listrik negara. Listrik yang disalurkan kepada PLN ini seharusnya tercatat pada alat pengukur yang terpasang di tiap rumah. Alih-alih membayar, penyedia listrik mandiri ini patut mendapat bayaran dari PLN atau setidaknya pemotongan biaya penggunaan listrik dari PLN berdasarkan kontribusi daya listrik yang diberikan.

Bayangkan jika 10% persen saja dari rumah-rumah di Indonesia menyediakan listrik secara mandiri, seharusnya dapat menjadi solusi alternatif untuk mengatasi defisit listrik dari PLN.

Pada saat yang bersamaan negara diuntungkan, dan rakyat sejahtera. Serupa dengan iklan perusahaan energi juga milik negara.

Sabtu, 05 Juli 2008

Akib dan Fidel : Salut

Ada seorang sahabat saya ketika kuliah dahulu yang bernama M. Akib. Secara akademis tidak ada yang menonjol dari Akib tetapi hal yang teramat istimewa pada saat itu adalah dia kuliah atas biaya sendiri dan bahkan dia menghidupi orang tua dan adik-adiknya di kampung dari hasil kerjanya sendiri.

Menjadi sangat istimewa karena dia kuliah di pagi dan siang hari dan bekerja di malam hingga subuh menjelang, yang menyisakan sedikit sekali waktu untuk beristirahat sekedar melepas penat.

Hal ini berlanjut hingga semester ke-5, hingga akhirnya tuntutan memenuhi kebutuhan hidup lebih mendesak untuk dipenuhi. Dengan sangat terpaksa impian menjadi arsitek (semoga hanya sementara) digantung.

Berita terakhir yang saya dengar, Akib memulai usaha reklame di sekitar kawasan Senen.

Lain halnya dengan Fidel. Dia adalah peserta Lomba Keterampilan Siswa SMK yang baru saja digelar di Makassar dari propinsi Papua Barat.

Menjelang waktu pengumpulan berkas hari kedua, dia dirundung masalah fatal, bagian penting pekerjaannya secara tidak sengaja terhapus. Dikala beberapa rekan lainnya memutuskan untuk mengundurkan diri saja dari lomba karena merasa tidak dapat menyelesaikan lomba, ditengah tekanan yang luar biasa, dia justru bersikukuh untuk melanjutkan pekerjaan, walaupun harus berkeringat agak lebih banyak.

Dan berhasil! Dia berhasil mengumpulkan karyanya dan tentu mendapatkan point penilaian.

Fidel memang tidak berhasil meraih tropi atau medali, karena ada peserta lain yang berhasil mengumpulkan point lebih banyak. Tetapi Fidel mempunyai mental yang baik. Mental yang pantang menyerah. Yang menurut saya adalah mental Juara.

Orang seperti Akib dan Fidel selayaknya menjadi juara. Sekalipun jawara tidak selamanya meraih tropi sebagai bentuk penghargaan.

Rabu, 25 Juni 2008

Lomba Keterampilan Siswa SMK





Ini adalah kali kedua saya menghadiri perhelatan akbar secara nasional di Makassar. Kali ini saya diminta untuk menjadi anggota tim juri Lomba Keterampilan Siswa SMK untuk bidang lomba CADD.

Tentunya kesempatan seperti ini tidak saya sia-siakan untuk mengajak istri dan anak saya pulang kampung. Sekalipun harga tiket saat itu agak-agak tidak masuk akal.

Sepertinya saya mengalami dejavu, lagi-lagi perhelatan akbar ini belum berhasil diselenggarakan dengan baik.

Saya kagum dengan ketrampilan para peserta, yang jangan-jangan lebih terampil menggunakan software CAD dibandingkan saya.

Kantor RW 015 Rawamangun



Di antara sekian banyak proyek yang pernah kami tangani, proyek yang satu ini sepertinya agak berbeda dengan proyek-proyek yang lain. Ini adalah pekerjaan untuk merencanakan kantor sekretariat RW.

Hal yang menarik perhatian saya adalah keguyuban warga dan pengurus RW dalam melakukan hal ini bersama-sama. Posisi ketua RW ternyata tidak menjelma menjadi sebuah representasi dari gengsi sosial, hubungan mereka sangat cair selayaknya keluarga yang sangat besar.

Hal menarik lainnya adalah kegemaran mereka mengendarai sepeda, walau akhirnya saya agak khawatir kantor RW ini akan menjadi bengkel sepeda.... hahaha :)

Sabtu, 08 Maret 2008

Lapar

Masih ingat Sumanto?
Masih ingat bagaimana orang berbondong mencibir Sumanto?
...
...

Sebenarnya Sumanto hanyalah sebuah potret anak manusia yang berjuang lepas dari kungkungan kelaparan di tengah kemiskinan yang mendera. Tidak kuasa menahan lapar, maka mayat pun menjadi pilihan santapan. Mungkin penjara adalah nikmat bagi Sumanto. Setidaknya ia tidak payah mencari apa yang hendak dimakan setiap hari.

Beberapa hari yang lalu muncul lagi berita yang tidak kurang menyayat. Seorang ibu yang sedang mengandung tujuh bulan dan seorang buah hatinya meninggal karena tiga hari berjuang menahan lapar.

Memang hidup saya tidak bersinggungan langsung dengan si ibu. Namun dari setiap berita yang saya baca, saya sangat salut dengan kepribadiannya. Sekalipun kondisi keuangannya sangat tidak baik, tidak tersiar berita jikalau beliau hidup dengan cara meminta belas kasihan orang lain. Tetapi beliau berusaha untuk mendapatkan rizki walaupun tidak seberapa.

Rizki yang didapat hanya cukup untuk beras satu liter yang harus dihemat bersama tiga anaknya selama tiga hari. Dihari itu dia dan tiga anak terpaksa menahan lapar untuk tiga hari, sebelum kemudian Allah mencukupkan rizky-Nya untuk ibu itu dan seorang anaknya.

dan disaat ini lah, orang berbondong berkilah, seperti lari dari tanggung jawab. Bagaimana mungkin engkau bisa tidur nyenyak dengan perut terisi penuh kekenyangan sedangkan saudaramu terjaga karena laparnya...

ampuni kami ya Allah.....

tanpa judul

ya Allah...
Tuhan semesta alam, penguasa langit dan bumi beserta isinya
...
...
berilah kelapangan bagi kami di tengah kesempitan
berilah kemudahan bagi kami di tengah kesulitan
ampuni kami ya Rab,
beri kami nikmat sehat ketika Engkau coba kami dengan sakit.
ampuni kami ya Rab,
...
...
sungguh engkau Tuhan yang pengasih lagi maha penyanyang
...
...
...

Minggu, 17 Februari 2008

Hijau (menjadi) Pilihan?


Sekalipun bukan hal yang baru, tetapi sebuah film yang disusun oleh mantan wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore seperti menyentak kesadaran banyak orang. Isu perubahan iklim dan pemanasan global laris menjadi berita di setiap media, menjadi bahan obrolan warung kopi hingga pembahasan serius di Senayan. Kampanye hijau mulai menghiasi ruang berita surat kabar.

Hal ini adalah indikasi yang baik. Ketika kesadaran masyarakat kian pulih akan ancaman kelangsungan hidup penghuni bumi. Walau hingga saat ini juga masih tidak terbilang jumlah yang menganggap hal ini sekedar fiksi dan tidak nyata.

Pemda DKI Jakarta dalam posisi limbung untuk memenuhi ketentuan 30 % ruang terbuka hijau (RTH) yang saat ini hanya ada tersedia 9 %. Di lain pihak upaya pemenuhan terhadang masalah ketersedian lahan.

Ada banyak solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan lahan. Di antaranya dengan menetapkan aturan koefisien dasar hijau (KDH). Ketentuan ini akan menentukan berapa besar lahan pada sebuah site yang boleh dilakukan perkerasan.

Jikalau setiap rumah menyumbang 10 meter persegi lahan untuk dijadikan area resapan air, dikalikan 1 juta rumah se-DKI Jakarta, maka lahan yang tersedia untuk daerah resapan adalah 10 juta meter persegi (10 km2). Luasan tersebut setara dengan 1,52 persen dari luas Jakarta secara keseluruhan.

Tetapi kiranya menjadi hijau jangan melulu diartikan selamanya menamam pohon atau tetumbuhan. Dalam hemat saya menjadi hijau lebih kepada 'menghijaukan' pikiran. Hijau bisa juga diartikan sebagai upaya mengkonservasi energi, meredam pelepasan emisi karbon, dan lain sebagainya. Namun sering kali hal ini menjadi sulit karena banyak hal yang “hijau” bersinggungan gaya hidup.

Jika sempat sesekali anda berjalan-jalan di sekitar Taman Menteng. Kurang lebih berjarak 100 meter dari taman tersebut ada beberapa rumah yang membeton halaman mukanya. Di atas perkarangan yang permukaannya sudah diperkeras itulah berjejer dengan rapih sejumlah mobil.

Dalam sebuah kunjungan ke kota Bandung di akhir tahun 2007, saya dan seorang rekan berkendara menuju rumah rekan yang lain. Sebagai seorang yang lahir dan besar di Jakarta, Bandung tentunya berhawa lebih sejuk. Berikut cuplikan perbincangan kami dalam perjalanan tersebut.
Rekan : “ Loe ngapain Ko? “
Saya : “ Buka kaca mobil. “
Rekan : “ Gak usah, gue mau idupin AC. “
Saya : “ Hah! Yang bener aja. “
“ Gak pake AC aja gue udah menggigil, apalagi pake AC. “
Rekan : “.... “

Dan akhirnya pun kami melaju dengan kaca terbuka.

Berikut juga cuplikan perbincangan yang saya kutip dari jurnal on-line arsitektur.net Volume 2 Nomor 1 tahun 2008 :

Klien : Kamarnya terlalu sempit.
Saya : Sebenernya ini cukup. Ruang memang sengaja saya buat tipis supaya bisa terjadi cross sirculation udara.
Klien : Buat apa? Saya kan mau pake ac di semua kamar.
Saya : Kalau bisa tidak pake ac kenapa harus pake ac?
Klien : Tapi nanti nyamuknya masuk.
Saya : Kan bisa pake kawat nyamuk.
Klien : Tapi kamarnya terlalu sempit. Dan saya mau selalu pake ac.
Saya : Listriknya akan boros.
Klien : Biarin. Saya ini yang bayar.
(Issue global warming yang sangat mencemaskan, buat beberapa orang, ternyata masih fiktif.)

Dan disinilah letak tantangan berat bagi arsitek, sebelum meng”hijaukan” kliennya ia harus terlebih dahulu “menghijaukan” dirinya sendiri. Untuk itu upaya meyakinkan klien adalah sebuah perjuangan terlebih jika hal tersebut adalah upaya untuk meyakinkan klien untuk merubah pola dan gaya hidupnya. Merubah gaya hidup adalah perjalanan yang panjang. Kiranya gaya hidup kita yang akan membawa diri kita selanjutnya, apakah selamat atau tenggelam? Hijau seharusnya adalah sebuah keniscayaan bukan pilihan.

Selasa, 15 Januari 2008

Mana Tahan

Yang namanya sistem pertahanan itu gak cuma menyediakan mesin perang. Tetapi juga menyediakan bahan dasar pembuat tempe tahu.

Sungguh lucu terdengar kalau negara (yang katanya) agraris sebesar negara saya ini, (yang katanya juga) negeri asal tempe tahu (walau kemudian diaku dan dipatenkan negara lain) justru meng-impor bahan dasar tempe dari luar negeri udah begitu mahalnya amit-amit lagi. Sampe-sampe pembuat tahu tempe ngambeg dan kapok membuat tempe....

walhasil rakyat lapar dan petani miskin

kalau rakyatnya miskin dan lapar mana bisa bertahan dari musuh?

Ya sudah lah...
lebih baik sekarang gue nikmatin aja tempe terakhir gue hari ini...
sebelom bsok nyarinya susah dan mahal... :(

salam dari penggemar tempe

Minggu, 13 Januari 2008

hari ini itu nama saya

Yah begitulah,
hari ini itu nama gue. Atau tepatnya terjemahan dalam Bahasa Indonesia dari nama yang dilekatkan kepada gue. Ariko.

Berasal dari bahasa Minang dan dari dua suku kata ari yang berarti hari, iko yang berarti ini. Jadi kalau digabung akan berarti hari-ini. Dan kalau gue terjemahin dalam bahasa yang lain ariko bisa berarti up-to-date...

hehhehe

yah semoga ajah...