Kamis, 20 Agustus 2009

Lensa Pinjaman

Tanggal 16 Agustus kemarin Shasha berulang tahun yang ke-6. Kesempatan untuk coba lensa da Esa, Nikkor AF-s 55-200mm VR, dan ini hasilnya.







Sabtu, 01 Agustus 2009

Enjoy Jakarta

Pagi tadi selepas Subuh, Omar menarik tangan saya untuk pergi keluar rumah. Setelah selesai menyaksikan film lingkaran dan segitiganya, Omar tergerak keluar karena ingin melihat burung yang memang sudah bernyanyi semenjak pagi. Kami pun pergi melihat burung yang berkicau. Menyusuri pagi di Rumah Susun. Lalu saya menawarkan untuk melihat Air Mancur di Bunderan HI, yang bisa saya tempuh 5-10 menit berjalan kaki.

Setibanya di pelataran sudut Plasa Indonesia, kami pun duduk menghadap Tugu Selamat Datang. Serasa kami disambut dengan ramah lengkap dengan rangkaian bunga. Omar selalu senang melihat air mancur ini. Selalu ketika kita melintas air mancur di atas kendaraan dia akan bersorak gembira.

Tidak berselang satu menit, sambutan lainnya datang menjelang. Kali ini sambutannya agak tidak terduga. Petugas Satpol PP dengan seragam lengkap datang dengan maksud untuk mengusir saya dan Omar yang sedang duduk menikmati air mancur.

Petugas:
"Maaf pak tidak boleh duduk di sini!"

Saya :
"Loh! apa dasarnya anda melarang saya?" Jawab saya ketus
"saya tidak melihat ada tanda larangan duduk di sini." Jawab saya lagi

Petugas :
"Iya pak, Kalau ada petugas PP, Bapak tidak boleh duduk di sini." Kilahnya

Saya :
"Anda ini aneh....!!!" Jawab saya sangat kesal
"Kalau tidak boleh, seharus anda taroh tanda larang duduk di sini"
"Kalau perlu pasang sekalian kawat berduri"
"Jangan seenaknya Anda buat aturan" lanjut saya tambah berapi-api.
"Tempat ini sehari-hari tempat duduk-duduk untuk lihat air mancur"

Petugas :
"Maaf pak, saya hanya menjalankan tugas"

Saya :
"Bilang sama atasan anda yang memberikan tugas kepada anda, saya hanya warga kota yang sedang menikmati kotanya" kata saya tegas.
"Saya hanya mau istirahat sejenak di sini bersama anak saya sambil menikmati air mancur."
"dan saya tidak peduli dengan aturan konyol anda!" kata saya semakin tinggi.


Saya istigfar selepas petugas itu pergi tanpa permisi. Hari belum lagi tinggi tetapi urat nadi sudah mulai tegang.

Setelah puas Omar menikmati air mancur, kami pun beranjak pergi pulang, menyusur Jalan Thamrin. Berharap masih bisa menikmati sisa pagi. Beberapa langkah berselang, sambutan lain datang menyapa. Kali ini datang dari arah belakang saya dengan suara menderu dan asap hitam pekat ketika melintasi kami. Metromini yang beradu laju dan berebut menurunkan penumpang.

Lengkap sudah pagi hari saya. Sepanjang jalan saya menghibur hati seraya berkata di dalam hati "Enjoy Jakarta"

Selasa, 16 Juni 2009

Persegi Pendek

Omar ketika umur setahun mampu hafal banyak logo yang sering dia lihat dan menyebutkan ingatannya. Mulai dari seluruh operator seluler hingga perusahaan minyak milik negara. Hanya saja dia tidak mengucapkan nama perusahaan tersebut, tetapi "Pasti Pas", slogan yang selalu didengungkan perusahaan tersebut dalam berbagai media.

Omar juga sudah dapat menyebutkan angka-angka 1-10 dalam bahasa indonesia dan inggris. Beberapa alfabet sudah dikenali dengan baik.

Beberapa bulan terakhir Omar menunjukan minat dalam mengenali bentuk-bentuk geometri dan sifat-sifatnya. Segitiga, segi empat, lingkaran, bentuk hati, bintang juga bentuk sabit. Malam tadi dia berujar Persegi Panjang dan menjelaskan sifat yang lekat dalam persegi panjang. Setelah itu dia berujar tentang Persegi Pendek.

Saya pun merespon.
"tidak ada persegi pendek nak."
"yang ada hanya persegi panjang."

Tetapi dalam hati saya bertanya, kenapa tidak ada persegi pendek? bukankah seharusnya semua berpasangan, persegi panjang dan persegi pendek. Persegi panjang yang dibuat lebih pendek tetap saja disebut persegi panjang.

Omar, jadinya persegi pendek itu seperti apa ya?
Ayah jadi mau tahu?

Jumat, 05 Juni 2009

Jakarta 2014

Beberapa waktu yang lalu saya diminta teman-teman di Universitas Pancasila untuk berbicara pada sebuah seminar tentang Rumah Susun. Secara kebetulan saya penghuni rumah susun di dekat Jalan Thamrin. Pada kesempatan tersebut saya tidak membicarakan rumah susun dan problematikanya. Tetapi saya mencoba berpikir terbalik, saya mencoba melihat rumah susun sebagai kebutuhan dan sebagai jawaban terhadap berbagai masalah yang terus merundung Jakarta.

Saya memulaikan dengan membayangkan apa yang terjadi pada kota Jakarta dimasa depan. Atau setidaknya mencari perkiraan bagaimana wajah Jakarta 5 tahun mendatang. Maka saya coba mengetikkan kata kunci "jakarta 2014" pada mesin pencari google, dan hasilnya cukup mengejutkan saya.

Google menampilkan hasil pencarian yang semuanya merujuk kepada "kiamat" mobilitas di Jakarta. Sejumlah kajian mengatakan bahwa pada tahun 2014 Jakarta akan macet total. Pada masa itu mungkin ketika akan terjebak kemacetan begitu kita keluar dari garasi kita. Salah satu beritanya dapat dilihat di sini.

Untuk mengatasi kemacetan ini Dinas Tata Ruang DKI Jakarta (dahulu Dinas Tata Kota) menyiapkan 4 skenario.

Skenario 1: Jaringan Full Development.

Diasumsikan, jalan tol akses Tanjung Priok, jalan tol Cikarang-Tanjung Priok, jalan tol Depok-Antasari, berbagai jalan tembus, jalan sejajar, missing link, dan jalan lingkar luar Jakarta sudah tersambung. Kemacetan hanya dapat turun 2,32 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan di Jakarta meningkat 3,80 km/jam, yakni dari 26,48 km/jam menjadi 30,18 km/jam.

Skenario 2: Jaringan full development + Pembangunan 6 koridor jalan tol dalam kota.

Pengembangan dari skenario 1 plus 6 koridor jalan tol dalam kota. Kemacetan dapat turun 18,66 persen. Kecepatan laju kendaraan meningkat menjadi 33,76 km/jam.

Skenario 3: Skenario 2 + pengembangan angkutan umum.

Pengembangan dari skenario 2 plus pembangunan angkutan umum massal seperti busway, monorel, subway, dan perbaikan angkutan kereta api Jabodetabek. Penurunan kemacetan sekitar 44,7 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan meningkat menjadi 36,51 km/jam.

Skenario 4: Skenario 3 + penerapan traffic restraint.

Pengembangan skenario 3 plus pemberlakuan kawasan pembatasan lalu lintas pada berbagai pusat bisnis. Menurunkan kemacetan hingga 55,3 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan bisa mencapai 38,88 km/jam.


Semua skenario yang disiapkan Dinas Tata Ruang hampir semuanya bersifat membangun jalan-jalan baru, karena dasar berpikirnya masih berlandaskan rasio jumlah mobil dan luas jalan yang tersedia.

Padahal menurut hemat saya membangun lebih banyak jalan tidak akan memecah masalah kemacatan di Jakarta, justru akan memperluas area kemacetan. Dalam salah satu poster kampanyenya, Yayasan Pelangi menganalogikan kemacetan yang sebagai tubuh yang kegemukan dan luas jalan sebagai ukuran pakaian yang digunakan. Tidak mungkin kita terus-menerus mengganti ukuran pakaian lebih besar karena tubuh yang kian gemuk.

Poster kampanye Yayasan Pelangi dapat dilihat di sini



Kerugian akibat kemacetan yang sudah menjadi rutinitas Jakarta mencapai 8,3 triliun rupiah per tahun. Perhitungan tersebut didapatkan dari konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor, potensi produktivitas yang hilang dan biaya kesehatan. Jika kerusakan lingkungan akibat kemacetan di Jakarta termasuk komponen yang dihitung maka saya memperkirakan angka kerugian yang kita alami setiap tahunnya akan membludak.

Beberapa cara yang dapat menyelesaikan keruwetan macetnya Jakarta adalah dengan menyediakan moda transportasi massal yang dapat diandalkan dan dikelola dengan baik. Solusi lain yang menurut saya dapat secara signifikan menyehatkan kota kita adalah ide Kembali Tinggal di Kota

Lebih dari dua juta jiwa yang sehari-hari beraktivitas di dalam kota tinggal di luar Jakarta, seperti Bekasi, Bogor, Tangerang dan area sekitarnya. Seakan daerah-daerah tersebut menjadi asrama bagi penduduk Jakarta. Padatnya lalu lintas di Jakarta karena setiap harinya kendaraan yang masuk ke Jakarta mencapai 600rb unit kendaraan. Angka tersebut belum termasuk dengan angka kendaraan yang berasal dari dalam Jakarta sendiri.

Ketimbang membangun lebih banyak jalan saya lebih cenderung untuk meningkatkan hunian di tengah kota sehingga mobilitas warga kota dengan kendaraan prinadi dapat di tekan. Oleh karenanya Jakarta perlu menata ulang tata ruang kotanya. Izin membangun rumah tinggal juga sepertinya perlu ditinjau ulang, terlebih pada kawasan-kawasan yang berdekatan dengan pusat-pusat aktivitas.



Izin bangunan untuk rumah tinggal dengan ketinggian dua lantai selayaknya sudah mulai dikurangi. Sudah saatnya Jakarta mengadopsi hunian lebih dari 2 lapis, dalam rangka penyediaan hunian di tengah kota. Hal ini kemudian mengapa rumah susun murah untuk kalangan menengah, yang dekat dengan pusat aktivitasnya sepertinya dapat menjadi solusi yang baik. Rumah susun seperti yang di Kebon Kacang, Tanah Abang, Pejompongan, Bendungan Hilir dan beberapa tempat lainnya sepertinya perlu di duplikasi di beberapa tempat lainnya, dengan memperhatikan kepadatan, daya dukung lingkungan serta beban sosial.

Saya membayangkan Jakarta masa depan, yang hijau, tidak lagi bergantung dengan kendaraan bermotor pribadi dalam mobilisasi. Semuanya dapat dijangkau dengan jalan kaki lengkap dengan pedestrian yang baik dan rindang serta jalur untuk pengendara sepeda. Dan tempat-tempat di Jakarta semua sudah terhubung dengan sistem transportasi cepat masal. Anak-anak dapat bermain riang, karena tersedia cukup ruang untuk bermain. Begitu juga sudah tidak ada lagi daerah yang tergenang air, karena semua sudah terserap tanah.

Hmm...
Entah kapan....

Selasa, 19 Mei 2009

Atap Datar

Beberapa waktu yang lalu saya diminta untuk merancang rumah tinggal untuk seorang kerabat di Tebet, Jakarta Selatan. Setelah proses perencanaan selesai kami lakukan sehingga pada akhirnya kami memutuskan untuk memakai atap datar dengan segala pertimbangannya. Dan kami pun segera menyiapkan dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk mengurus IMB.

Sebenarnya mengurus IMB bukanlah lingkup pekerjaan kami sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati bersama, tetapi saya sadar bahwa meletakan pilihan atap datar akan menimbulkan kerumitan tersendiri ketika mengurus izin, dan kami berkeinginan bahwa gambar izin sesuai dengan gambar rencana. Akhirnya kami memutuskan untuk ikut terlibat dalam pengurusan izin. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab kami ketika menjadikan sebuah bentuk rancangan dan juga lebih kepada pembelaan terhadap desain yang kami buat.

Tepat seperti dugaan sebelumnya, sie P2B di kecamatan menolak untuk memproses pengajuan IMB kami karena atap datar. Sempat saya bertanya kepada petugas yang melayani kami kenapa permohonan IMB kami ditolak. Petugas tersebut mengatakan bahwa hal tersebut diatur di dalam Perda no. 7 tahun 1991. Hal tersebut kemudian saya bantah karena secara kebetulan saya membawa salinan Perda no 7 dalam tas saya. Perda 7 tidak pernah menyebutkan larangan terhadap atap datar, terlebih lagi peraturan tersebut juga tidak menyebut anjuran bentuk atap tertentu.

Beliau kemudian mengatakan hal ini terdapat dalam konsensus Kepala Dinas. Lagi saya menyanggah bahwa hal tersebut tidak dapat dimungkinkan karena bukan merupakan produk hukum. Mungkin karena merasa terdesak petugas Sie P2B di kecamatan sempat berujar "memang biasanya begitu mas..". Agak kesal saya berkomentar "Bapak bekerja berdasarkan aturan atau kebiasaan?". Beliau kemudian menyarankan agar saya coba mengajukan izin melalui loket perizinan di Sudin Perizinan di kantor walikota.

Sempat saya memintakan saran beberapa rekan, di antara Ahmad Djuhara, yang mungkin pernah menghadapi situasi yang sama dengan saya menyarankan hal yang serupa.

Di Suku Dinas Perizinan Jakarta Selatan, berkas saya diperiksa. Saya pun kemudian menjelaskan persoalan yang hadapi. Petugas tersebut kemudian menyarankan agar saya sebelumnya ikut konsultasi TPAK yang rekomendasinya dapat dijadikan dasar untuk mengajukan izin. Saya pun kemudian menyanggupinya. Di hari yang sama saya segera mendaftarkan untuk ikut konsultasi TPAK agar esok hari, ketika sidang TPAK permohonan saya dapat diikutsertakan.

Alhamdulillah, beberapa hari kemudian rekomendasi TPAK saya dapatkan. Karena berkas asli hasil konsultasi harus tetap tinggal di Jatibaru, maka saya hanya diperkenankan untuk membuat salinan terhadap berkas asli yang ditandatangi TPAK. Sempat saya bertanya apakah salinan surat yang saya pegang tidak diberi nomor surat? Petugas tersebut mengatakan tidak perlu karena sifatnya hanya konsultasi. Hasil ini kemudian saya bawa kembali ke Sudin Perizinan untuk dilanjutkan proses izinnya.

Lebih dari satu pekan setelahnya saya datang kembali ke Sudin menanyakan IMB yang saya ajukan. Dan ternyata berkas saya masih tertahan di Sudin P2B karena atap datar. Akhir lagi saya menjelaskan lagi isi Perda 7 kepada petugas P2B bahwa tidak ada larangan atap datar dan tidak ada anjuran atap tertentu pada Perda 7. Saya juga menjelaskan bahwa saya sudah memintakan rekomendasi dari TPAK. Beliau tetap tidak mau memproses izin saya karena surat rekomendasi yang saya peroleh dari TPAK tidak bernomor surat seakan mempertanyakan apakah izin yang saya peroleh resmi adanya. Selama dua pekan berulang kali saya hilir mudik dari kantor Sudin P2B ke Dinas P2B. Pihak Dinas P2B sempat bertanya bagaimana bisa berkas saya bisa masuk ke TPAK, Karena berkas yang ajukan tidak termasuk dalam kawasan pemugaran atau mempunyai luas setidaknya 1500 m2. Bangunan yang kami rancang memiliki luas 190 m2 dan dalam peruntukan lahan Wisma Kecil/Deret. Sempat saya bertanya tentang koordinasi antar instansi dan petugas karena saya hanya melakukan sesuai dengan saran yang diberikan oleh petugas yang terkait.

Disela-sela masa tersebut sempat petugas Dinas berujar bahwa keengganan mereka untuk meluluskan IMB beratap datar adalah karena ketakutan berubah peruntukan dari rumah tinggal menjadi ruko. Saya kemudian kembali menjelaskan bahwa UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengancam pidana dan denda hingga miliaran rupaih saya apabila itu terjadi.

Pernah juga saya disarankan untuk "memperbaiki" gambar hanya untuk pengajuan izin dengan membubuhkan tambahan atap, walau berbeda dengan rencana yang hendak dilaksanakan. Sekedar untuk mendapatkan izin. Hal ini saya tolak mentah-mentah, karena hal ini yang hendak saya perjuangkan sejak dari awal berpraktek. Absurd, karena hal yang saya lakukan sesuai dan dilindungi oleh aturan yang ada, tetapi saya diminta untuk melanggar aturan agar mendapat secarik kertas legalisasi bernama IMB

Kerumitan administrasi ini kemudian terselesaikan setelah pada sebuah kesempatan saya berhasil bertemu Kepala Dinas P2B yang menyarankan bahwa nomor surat rekomendasi dikeluarkan oleh Sudin karena konsultasi TPAK diarahkan oleh Sudin yang bersangkutan.

Perjalanan panjang akhir berbuah juga. Alhamdulillah IMB saat ini sudah kami dapatkan sesuai dengan rencana yang akan dilaksanakan.

Sabtu, 25 April 2009

IGNORANCE IS A CRIME....

Jumat malam kemarin saya hadir menyimak presentasi Budi Lim yang berbagi kisah tentang etika konservasi. Ada sebuah kalimat yang terngiang hingga saat ini di telinga saya. Ignorance is a crime. Pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Hal ini bukan tanpa sebab beliau sampaikan, berkaca dari puluhan (bahkan mungkin ratusan) aset bangsa berupa bangunan tua di Jakarta Kota diabaikan terbelengkalai, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak utuh lagi penampilannya.

Teringat saya pada kampung halaman. Potret yang serupa berulang disini. Begitu banyak bangunan yang indah, dibiarkan lapuk menanti saatnya runtuh. Beberapa yang telah runtuh digantikan oleh bangunan "saat kini" yang "bernilai" jauh lebih murah ketimbang bangunan yang dahulu diwariskan oleh orang tua kita.

Seperti saya sepakat, Pengabaian adalah sebuah kejahatan. Pengabaian adalah asal mula kecarut-marutan negeri ini. Bukan hanya bangunan tua yang bernilai yang diabaikan, tetapi banyak sekali nilai yang luhur yang menjadi jatidiri bangsa ini telah diabaikan.

Lihatlah sudah sejak 2004 bis TransJakarta beroperasi. Jalur khusus pun telah disiapkan dengan menelan dana yang tidak sedikit belum berhasil mengurai kemacetan Ibukota. Hal ini bukan tanpa sebab.

Sebabnya adalah aturan jalur khusus bis TransJakarta harus steril dari kendaraan yang lain telah berhasil diabaikan. Terutama oleh oknum polisi, DLLAJ dan tentu saja pengguna jalan yang tidak disiplin. Tidak sedikit yang menerabas masuk bahkan menggunakan kendaraan dengan plat merah. Pegawai pemerintah yang seharusnya taat aturan. Pada saat-saat seperti ini rindu saya dengan Gerakan Disiplin yang pernah dicanangkan oleh pemerintah masa lalu. Pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Sekian banyak pengabaian terjadi di depan mata, tanpa adalah satupun insan yang mau bergerak mengingatkan. Ingatkah kita dengan kematian seorang ibu dan anak di Sulawesi Selatan yang telah diabaikan haknya sebagai manusia hingga harus meninggal karena lapar. Tanggul yang jebol adalah sebab kewajiban yang diabaikan. Korupsi yang merajalera juga karena hati nurani telah diabaikan. Semakin sepakat saya bahwa pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Teringat saya kepada sebuah hadits,
Jika terjadi kemungkaran di depan kamu, maka rubahlah dengan tanganmu.
Jika engkau tidak dapat merubah dengan tanganmu maka rubahlah dengan mulutmu.
Jika engkau tidak dapat merubah dengan mulutmu maka rubahlah dengan hatimu.
Maka itu sebenarnya adalah selemah-lemah iman.

Pesan apa yang hendak disampaikan dalam hadits tersebut?

Disebut LEMAH iman kita apabila kemungkaran di depan mata dan kita hanya berkata di dalam hati seraya diam. Ignorance is a crime....

Minggu, 05 April 2009

Pajak

Beberapa hari lalu saya menulis pandangan saya pada halaman jejaring sosial di dunia maya. Sebenar tulisan itu hanya sebuah komentar singkat mengenai musibah yang nampak masih rajin berkunjung ke rumah kita. Hanya saja musibah terakhir di Situ Gintung sepertinya datang atas "undangan" kita.

Mungkin saya tidak dapat menyembunyikan kekecewaan saya atas berbagai kejadian belakangan ini.

Ingatan saya melayang ke masa setahun silam. Ingatan yang sama yang membuat saya menulis di blog ini. Seorang ibu yang sedang mengandung beserta dua anaknya meninggal dunia karena sudah tidak kuasa menahan lapar. Sedang lurah setempat menolak membantu hanya karena secarik kertas bernama KTP yang berhasil mengalahkan kemanusiaan. Seingat saya ibu itu adalah juga seorang Indonesia.

Sekitar sebulan lalu seorang pengendara motor juga meninggal dunia karena motor yang dikendarai terperosok ke dalam lubang ketika sedang melintas di jalan protokol Ibukota. Sebelumnya ada ruas jalan yang sengaja di aspal karena seorang istri pejabat hendak datang berkunjung. Silahkan berkunjung ke tautan ini untuk membaca beritanya.

Saya merefleksikan dengan Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang mampu menjaga amanah. Seorang pemimpin yang mengangkut sendiri karung bahan makanan untuk segera diantarkan kepada keluarga miskin yang sedang dilanda lapar. Disaat yang lain beliau juga pernah berujar bahwa bagaimana mungkin bisa kita mempertanggungjawabkan amanah sebagai pemimpin kehadapan Allah jikalau ular yang jalan melata bisa jatuh terjerembab karena jalan yang berlubang.

Kontras. Ironi yang membuat saya semakin sedih.

Semasa sebagian dari kita sudah mulai pusing mengisi laporan tahunan pajak, tanggul Situ Gintung jebol, setidaknya lebih dari 200 orang pergi menghadap Allah. Organ-organ pemerintah pun sibuk melempar tanggung jawab. Jebolnya tanggul bukanlah bencana alam. Bencana ini seharusnya tidak datang jika tanggul dipelihara dengan semestinya.

Musibah yang seharusnya tidak datang jikalau uang hasil pajak yang kita kumpulkan digunakan secara semestinya untuk mengentaskan kemiskinan, memperbaiki jalan-jalan, merawat bendungan demi kesejahteraan rakyat. Yang terjadi menurut pandangan saya adalah hal yang sebaliknya.

Lalu saya pun menulis pada status saya : Kira-kira apa gunanya bayar pajak ya? Tanggul tetap jebol, Jalan tetap saja berlubang, bahkan meminta korban setiap hari, lalu rakyat tetap miskin...?? gak ngerti...??


Tulisan singkat ini mengundang beragam tanggapan. Salah satunya yang menarik adalah tanggapan dari seorang sahabat saya yang bekerja di Dirjen Pajak. Dua kali beliau menulis pada dinding maya halaman rumah saya. Berikut adalah cuplikan tulisan beliau :

"Ariko sayang, pendapatan terbesar untuk membiayai negara ini berasal dari pajak, karena sektor migas kita sudah mengecil. Mengelola negara ini butuh dana yang besar sekali... Untuk membayar hutang kita yang segunung juga pakai pajak. Untuk membangun jalan yang berlubang itu juga pakai pajak. Subsidi-subsidi pakai pajak. We work very hard here... Masih gak ngerti jugakah? Kalo perlu pemyuluhan pajak, I'm ready, ok?"

Memang pajak kita yang membangun negeri ini. Lalu mengapa rakyat masih tetap miskin, masih setiap hari kita terancam keselamatan karena jalan yang berlubang, lalu tanggul tetap jebol.

Lalu kemana larinya pajak kita? ternyata sebagian dikutip oleh pejabat-pejabat kita yang juga menerima gaji yang tidak dapat dikatakan sedikit yang juga berasal dari pajak. Silahkan baca berita di sini

Semua hal ini memang tidak menggugurkan kewajiban kita untuk membayar pajak. Tetapi juga sudah tidak saatnya lagi kita terus-menerus ditagih kewajiban tetapi dilarang menuntut hak kita sebagai pembayar pajak. Seharusnya kita bangkit, dan membangun kesadaran sebagai pembayar pajak.

Sahabat saya itu kemudian juga membalas dalam tulisan di dinding rumah maya saya. "Ariko memandang suatu masalah dari sisi yang sempit. Sampai kapanpun orang jahat akan ada. Jangan menggeneralisasi. Saya sendiri melihat, mengetahui, dan merasakan perubahan besar menuju perbaikan dalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak, suatu hal yang pernah dianggap hampir tidak mungkin."

Waduh, saya rasa ini bukan orang baik dan orang jahat. Tetapi bagaimana seharusnya kita membangun sistem yang baik, sebuah pondasi yang kuat dalam membangun negeri tercinta ini. Tidak dapat dibenarkan rakyat terus-menerus dimintakan pajak dan terus-menerus dirugikan dengan cara pengelolaannya. Bukankah Undang-undang Dasar kita mengamanatkan negara ini dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat? bukan untuk sebuah pemakluman?

Jikalau memang saya memandang masalah ini dari sudut pandang yang sempit sudah sedemikan parah masalah ini, maka saya semakin takut melihat lebih lebar. Saya takut dengan pemandangan yang lebih mengerikan yang mungkin saya temukan.

Sabtu, 21 Februari 2009

Apa yang salah dengan negeri kita?

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya, hanya saya ingin memberi tekanan pada hal yang berbeda.

Teringat sebuah judul sayembara yang baru saja di lansir di milis arsitektur yang cukup sibuk di Indonesia. Kata kuncinya adalah gotong royong.

Ingatan saya juga sempat melayang-layang jauh agak ke belakang, ketika masih duduk di bangku kuliah. Dahulu saya sempat dijelaskan tentang bagaimana sebagian kelompok masyrakat kita membangun sebuah rumah. Ada sebuah semangat yang luar biasa, sehingga setipa individu di dalam kelompok tersebut saling membantu, bahu-membahu membangun rumah bagi saudaranya yang lain. Seringkali bantuan itu tidak hanya jerih payah tenaga tetapi juga materi. Kata kuncinya adalah gotong royong.

Pagi tadi saya pergi mengunjungi lokasi rumah yang hendak kita bangun di sebuah kompleks perumahan ternama di selatan Jakarta. Setibanya kami di sana sudah ramai khalayak berkumpul. Semuanya datang dengan kendaraan roda dua. Kontras, pagi itu mereka berkumpul bukan untuk menawarkan bantuan, tetapi justru datang untuk meminta uang "aman" yang sesungguhnya bukan menjadi hak mereka.

Sepanjang perjalan pulang, saya terus berpikir. Sebenarnya apa yang salah dengan negeri kita, sampai sebuah budaya membangun yang luhur bisa berubah 180 derajat.

Aman tetapi Tidak Aman

Beberapa hari yang lalu, saya pergi membantu klien untuk mengurus izin bangunan di kompleks perumahan pengembang ternama di selatan Jakarta.

Setibanya di gedung pelayanan konsumen, kita mengutarakan niat untuk mengurus izin. Hingga mengalir perbincangan dan pada akhirnya saya menanyakan besaran biaya yang menjadi beban kami. Bapak yang melayani kita memberikan selembar kertas yang berisi informasi besaran biaya yang dikenakan kepada konsumen. Besaran sempat membuat saya terkejut, karena cukup besar, setidaknya 5 lebih besar dibanding dengan retribusi resmi yang berlaku di Jakarta. Lalu kami juga disyaratkan untuk menyerahkan uang jaminan pemiharaan lingkungan.

Sebenarnya bukan jumlah yang membuat saya terkejut, tetapi betapa tidak seimbangnya antara biaya yang dibebankan dengan layanan yang diterima. Sekalipun kami membayar uang jaminan pemilaharan lingkungan, uang keamanan "resmi", pada kenyataannya ada saja pihak lain yang meminta "uang keamanan" versi sendiri yang jumlahnya juga selangit.

Sekalipun kita memberi uang aman, tetapi pada kenyataannya kitap tetap tidak aman. Entah, hampir putus asa saya, begitu banyak hal yang tidak dapat diterima oleh nalar saya berlangsung seolah-olah itu adalah sewajarnya.