Senin, 24 November 2008

Munas IAI XII Makassar

Ada yang "panas" di Munas IAI kali ini. Setelah Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Nasional sebelumnya diterima, berturut-turut Ketua Dewan Kehormatan (demisioner), pak Michael Sumarijanto, Ketua Umum dan Sekjen (demisioner) "dibakar" di depan peserta Munas.





Tentu bukan dalam konotasi yang buruk. Tetapi beliau bertiga secara berurutan diminta untuk terlibat dalam sebuah tarian khas Sulawesi Selatan yang menggunakan api. Sementara itu tepat di ruangan sebelah, persiapan untuk menghitung suara yang masuk untuk memilih Ketua Umum IAI periode berikutnya sedang disiapkan.

Penghitungan suara sepertinya juga tidak mudah, dimulai dari polemik 1 atau 2 putaran perhitungan suara hingga penghitungan suara sendiri yang memakan waktu hingga lepas tengah malam. Tepatnya hingga jam 2 dinihari.

Satu hal yang sangat berkesan bagi saya adalah anggota IAI senior, yang tidak lagi bisa dikatakan muda tetap hadir di ruangan mengawal perhitungan suara hingga selesai. Pak Suwondo, Pak Han Awal, Pak Ruchjat, Pak Zachry, Pak Gunawan Tjahjono, Pak Adhi Moersid, Pak Suwarmo, Pak Yuswadi Saliya berhasil mengalahkan kantuk hingga lewat pukul 2 malam itu. Sungguh saya terkagum dengan dedikasi beliau-beliau terhadap IAI, organisasi yang mereka besarkan.

Dan perhitungan suara berlangsung agak tegang, suara yang masuk kepada tiap calon saling susul-menyusul. Hingga akhir penantian tiba. Terpilih sosok yang akan memimpin IAI hingga 2011 nanti.



Selamat pak Endy. Saya titipkan mimpi saya ke Bapak.

Jumat, 21 November 2008

Bandara Baru







Sekitar pertenahan bulan Juni yang lalu, ketika saya berkesempatan pulang ke Makassar, sekaligus untuk menghadiri acara Lomba Keterampilan Siswa waktu lalu. Di dalam perjalanan dari dan menuju Bandar Udara, saya bertanya-tanya akan hadirnya gundukan-gundukan bangunan baru di dekta bandara.

Malam kemarin setelah mendarat dari Denpasar, akhirnya pertanyaan itu terjawab. Terminal baru yang menghubungkan Makassar dengan kota lain telah hadir. Hadir lebih baik sepertinya dibanding bangunan bandara yang lama, yang memang sudah dapat menampung kegiatan di bandara tersebut.

Sempat saya bertanya-tanya kepada beberapa rekan, dan seperti rekan-rekan di Atelier 6 yang patut di beri penghargaan untuk karya yang satu ini.

Kamis, 20 November 2008

Seandainya...


Saat ini saya sedang menanti pesawat udara yang akan membawa saya ke Makassar, ke perhelatan Munas IAI. Penerbangan saya yang tertunda, sehingga saya dapat menulis sedikit di buku catatan.

Sepertinya kondisi penerbangan di tanah air sudah jauh berbeda dengan 5 tahun yang lalu. Bepergian dengan pesawat udara menjadi lazim bagi semua kalangan. Harga yang makin terjangkau dan kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan sepertinya menjadi sebab mengapa khalayak marak mengguna moda transportasi yang satu ini. Juga menjadi sebab maraknya maskapai penerbangan di tanah air.

Teringat oleh sebuah berita kurang lebih setahun yang lalu ketika sebuah maskapai penerbangan swasta nasional membeli hingga ratusan unit pesawat baru untuk melayani puluhan jalur penerbangan dalam dan luar negeri.

Teringat pula saya akan mimpi seorang anak negeri yang saya kagumi, BJ Habibie. Bahwa kita bepergian di negeri sendiri dengan kendaraan yang kita buat sendiri. Sepertinya beliau dahulu sudah dapat memprediksikan akan maraknya penerbangan di Indonesia, hingga terluncur ide untuk membangun kemandirian bangsa dengan N2130, pesawat penumpang bertenaga jet.

Bayangkan jikalau waktu itu N2130 benar-benar terwujud, dan maskapai nasional yang berencana menambah hingga ratusan pesawat itu memesan 10% persen saja dari kebutuhannya kepada IPTN, tentunya akan menjadi hal yang luar biasa bagi IPTN dan kita sebagai bagsa pemilik IPTN.

Hanya sayang mimpi beliau terpaksa tidak dapat dituntaskan. Seperti banyak pihak yang masih belum rela melihat kita mandiri.

Seperti tidak tuntas sekarang, tapi saya yakin ini mimpi yang arus dituntaskan oleh kita, semua yang mengaku diri sebagai bangsa Indonesia.