Selasa, 22 Juni 2010

Tabungan Perumahan

Beberapa tahun belakangan ini, setelah menikah saya menetap di rumah susun Kebon Kacang. Dalam beberapa kesempatan saya turut berbagi peran dalam beberapa kegiatan yang diselenggarakan Perhimpunan Penghuni.

Rumah Susun Kebon Kacang rasa-rasanya menjadi salah satu rumah susun pertama yang berdiri di Indonesia, bersama dengan rumah susun Tanah Abang dan Klender dibangun oleh Perumnas. Setelah 30 berdiri, di tahun 2012 Hak Guna Bangunan (HGB) Rusun akan berakhir. Rusun Kebon Kacang terdiri dari 8 blok bangunan yang menampung sekitar 530 unit rumah, dengan luas lahan sekitar 1,7 hektar. Penghuni Rusun kami sangat beragam. Dari tukang ojek, berjualan gado-gado hingga pegawai bank sentral, atau direktur bahkan ekspatriat ada di dalamnya.

Tetapi kondisi Rusun kami sudah tidak seperti awal setelah dibangun. Lahan parkir sudah mencapai titik jenuh, sebanyak 150 kendaraan, ruang komunal dan area bermain anak yang tidak memadai dan sering kali berebut lahan dengan kendaraan yang akan parkir. Beberapa titik di beberapa blok bahkan sudah dalam kondisi yang mengkhawatirkan.

2012 menjadi persimpangan bagi penghuni Rusun Kebon Kacang. Apakah hanya sekedar memperpanjang HGB atau sekaligus meremajakan rumah ini. Walau prioritas semantara adalah memperpanjang HGB dalam rangka memastikan hak kepemilikan, tetapi isu-isu peremajaan tidak urung juga turut terbahas.

Dalam rangka peremajaan ini, sepertinya dibutuhkan pihak lain sebagai pemodal (selain tentunya Perumnas sebagai pemegang HPL). Ketika berbicara pemodal tentu intensi mereka adalah berapa banyak keuntungan yang mungkin mereka peroleh. Oleh karenanya mungkin intensitas di lahan kami perlu ditingkatkan, sehingga ada peningkatan jumlah unit yang bisa dijual sebagai keuntungan bagi pemodal. Setidaknya lebih dari 1000 unit agar dapat membiayai peremajaan ini. tentunya pemodal pasti akan mendorong ke jumlah yang fantastis walau daya dukung lingkungan tidak memadai.

Terlintas dalam pikiran saya apabila jadi Rusun ini jadi diremajakan, semisal di tahun 2012, maka paling cepat di tahun 2032 penghuni akan mengalami masalah yang sama. Meremajakan kembali rumah mereka. Tetapi di 2032 sudah tidak mungkin lagi menaikkan intensitas yang dapat dijual oleh pemodal berikutnya dalam rangka mendanai peremajaan kembali rumah susun. Karena 5000 orang untuk 1,7 ha rasanya sudah cukup sesak.

Satu cara yang mungkin dilakukan adalah membuat tabungan perumahan, yang mungkin saja bisa digabungkan dengan fungsi serupa koperasi simpan pinjam sehingga dapat menumbuh ekonomi warganya. Ada pula model-model seperti asuransi yang sudah marak dikenalkan kepada masyarakat kita, yang kiranya tidak terlalu memberatkan tetapi memiliki hasil yang cukup menjanjikan. Sekiranya Rp. 8000 per hari bukanlah hal yang terlalu berat, tetapi dapat mendatangkan manfaat yang besar. Tabungan ini dapat dikelola secara kolektif oleh warga atau melibatkan pihak lain dan dapat menjadi modal peremajaan secara mandiri pada tahap berikutnya tanpa harus bergantung kepada pemodal.

Bahkan menurut saya, hal ini seharusnya menjadi perhatian bagi setiap warga yang bertempat tinggal di Rumah Susun tidak hanya Rumah Susun Kebon Kacang. Bahwa Walau kita sudah memiliki rumah sepertinya kita masih harus menabung untuk dapat memilikinya kembali. Dan dapat dilakukan secara mandiri. Mungkin selayaknya pula pemerintah menyediakan payung yang dapat menjamin kepastian bermukim bagi warga yang menghuni rumah susun.

Menyimak Ruang

Beberapa tahun yang lalu saya pernah sempat "menyelinap" dalam salah satu kuliah paskasarjana di Jurusan Arsitektur UI. Kebetulan, dosen yang membina mata kuliah teori dan kritik, mas Sonny Sutanto, memang salah satu arsitek dan pendidik yang cukup sering berbagi.

Dalam kuliah tersebut mas Sonny sempat menyampaikan beberapa penemuan terbesar dalam sejarah manusia. Dua dari penemuan tersebut yang masih saya ingat, yaitu Api dan Internet. Karena dua penemuan itu menyebabkan perubahan prilaku manusia.

Setelah menemukan api, manusia mulai hidup berkumpul di sekitar perapian yang disinyalir menjadi awal budaya hidup secara komunal, merubah pola hidup dari pola pemburu menjadi budaya bercocok tanam dan menetap dan kemudian berkebudayaan.

Internet, penemuan manusia yang dalam beberapa hal berhasil "menggeser" ruang publik ke dalam ruang-ruang maya. Beberapa orang lebih nyaman "berbicara" di ruang-ruang publik maya ini. Di ruang-ruang publik maya ini pula beberapa orang dapat menemukan kepercayaan dirinya. Beberapa bahkan berprilaku ofensif. Pernah pula dalam suatu ketika, dua orang remaja terlibat saling mencaci-maki di ruang publik maya, yang mungkin tidak akan terjadi di ruang publik yang nyata, hingga kini berakhir dalam proses hukum.

Arsitektur kiranya tidak luput dari dampak internet. Beberapa rekan-rekan arsitek semakin nyaman dengan dengan jurnal arsitektur online seperti dezeen atau archdaily. Internet berhasil menyamarkan batas-batas geografis antar negara, demikian pula dengan identitas arsitekturnya semakin hari semakin serupa dari tiap pelosok dunia.

Internet dalam beberapa sisi juga membuat orang lebih nyaman dalam ruang-ruang pribadinya masing-masing yang asik berinteraksi secara maya.