Sabtu, 21 Februari 2009

Apa yang salah dengan negeri kita?

Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya sebelumnya, hanya saya ingin memberi tekanan pada hal yang berbeda.

Teringat sebuah judul sayembara yang baru saja di lansir di milis arsitektur yang cukup sibuk di Indonesia. Kata kuncinya adalah gotong royong.

Ingatan saya juga sempat melayang-layang jauh agak ke belakang, ketika masih duduk di bangku kuliah. Dahulu saya sempat dijelaskan tentang bagaimana sebagian kelompok masyrakat kita membangun sebuah rumah. Ada sebuah semangat yang luar biasa, sehingga setipa individu di dalam kelompok tersebut saling membantu, bahu-membahu membangun rumah bagi saudaranya yang lain. Seringkali bantuan itu tidak hanya jerih payah tenaga tetapi juga materi. Kata kuncinya adalah gotong royong.

Pagi tadi saya pergi mengunjungi lokasi rumah yang hendak kita bangun di sebuah kompleks perumahan ternama di selatan Jakarta. Setibanya kami di sana sudah ramai khalayak berkumpul. Semuanya datang dengan kendaraan roda dua. Kontras, pagi itu mereka berkumpul bukan untuk menawarkan bantuan, tetapi justru datang untuk meminta uang "aman" yang sesungguhnya bukan menjadi hak mereka.

Sepanjang perjalan pulang, saya terus berpikir. Sebenarnya apa yang salah dengan negeri kita, sampai sebuah budaya membangun yang luhur bisa berubah 180 derajat.

Aman tetapi Tidak Aman

Beberapa hari yang lalu, saya pergi membantu klien untuk mengurus izin bangunan di kompleks perumahan pengembang ternama di selatan Jakarta.

Setibanya di gedung pelayanan konsumen, kita mengutarakan niat untuk mengurus izin. Hingga mengalir perbincangan dan pada akhirnya saya menanyakan besaran biaya yang menjadi beban kami. Bapak yang melayani kita memberikan selembar kertas yang berisi informasi besaran biaya yang dikenakan kepada konsumen. Besaran sempat membuat saya terkejut, karena cukup besar, setidaknya 5 lebih besar dibanding dengan retribusi resmi yang berlaku di Jakarta. Lalu kami juga disyaratkan untuk menyerahkan uang jaminan pemiharaan lingkungan.

Sebenarnya bukan jumlah yang membuat saya terkejut, tetapi betapa tidak seimbangnya antara biaya yang dibebankan dengan layanan yang diterima. Sekalipun kami membayar uang jaminan pemilaharan lingkungan, uang keamanan "resmi", pada kenyataannya ada saja pihak lain yang meminta "uang keamanan" versi sendiri yang jumlahnya juga selangit.

Sekalipun kita memberi uang aman, tetapi pada kenyataannya kitap tetap tidak aman. Entah, hampir putus asa saya, begitu banyak hal yang tidak dapat diterima oleh nalar saya berlangsung seolah-olah itu adalah sewajarnya.