Selasa, 19 Mei 2009

Atap Datar

Beberapa waktu yang lalu saya diminta untuk merancang rumah tinggal untuk seorang kerabat di Tebet, Jakarta Selatan. Setelah proses perencanaan selesai kami lakukan sehingga pada akhirnya kami memutuskan untuk memakai atap datar dengan segala pertimbangannya. Dan kami pun segera menyiapkan dokumen-dokumen yang akan digunakan untuk mengurus IMB.

Sebenarnya mengurus IMB bukanlah lingkup pekerjaan kami sesuai dengan perjanjian kerja yang disepakati bersama, tetapi saya sadar bahwa meletakan pilihan atap datar akan menimbulkan kerumitan tersendiri ketika mengurus izin, dan kami berkeinginan bahwa gambar izin sesuai dengan gambar rencana. Akhirnya kami memutuskan untuk ikut terlibat dalam pengurusan izin. Hal ini kami lakukan sebagai bentuk tanggung jawab kami ketika menjadikan sebuah bentuk rancangan dan juga lebih kepada pembelaan terhadap desain yang kami buat.

Tepat seperti dugaan sebelumnya, sie P2B di kecamatan menolak untuk memproses pengajuan IMB kami karena atap datar. Sempat saya bertanya kepada petugas yang melayani kami kenapa permohonan IMB kami ditolak. Petugas tersebut mengatakan bahwa hal tersebut diatur di dalam Perda no. 7 tahun 1991. Hal tersebut kemudian saya bantah karena secara kebetulan saya membawa salinan Perda no 7 dalam tas saya. Perda 7 tidak pernah menyebutkan larangan terhadap atap datar, terlebih lagi peraturan tersebut juga tidak menyebut anjuran bentuk atap tertentu.

Beliau kemudian mengatakan hal ini terdapat dalam konsensus Kepala Dinas. Lagi saya menyanggah bahwa hal tersebut tidak dapat dimungkinkan karena bukan merupakan produk hukum. Mungkin karena merasa terdesak petugas Sie P2B di kecamatan sempat berujar "memang biasanya begitu mas..". Agak kesal saya berkomentar "Bapak bekerja berdasarkan aturan atau kebiasaan?". Beliau kemudian menyarankan agar saya coba mengajukan izin melalui loket perizinan di Sudin Perizinan di kantor walikota.

Sempat saya memintakan saran beberapa rekan, di antara Ahmad Djuhara, yang mungkin pernah menghadapi situasi yang sama dengan saya menyarankan hal yang serupa.

Di Suku Dinas Perizinan Jakarta Selatan, berkas saya diperiksa. Saya pun kemudian menjelaskan persoalan yang hadapi. Petugas tersebut kemudian menyarankan agar saya sebelumnya ikut konsultasi TPAK yang rekomendasinya dapat dijadikan dasar untuk mengajukan izin. Saya pun kemudian menyanggupinya. Di hari yang sama saya segera mendaftarkan untuk ikut konsultasi TPAK agar esok hari, ketika sidang TPAK permohonan saya dapat diikutsertakan.

Alhamdulillah, beberapa hari kemudian rekomendasi TPAK saya dapatkan. Karena berkas asli hasil konsultasi harus tetap tinggal di Jatibaru, maka saya hanya diperkenankan untuk membuat salinan terhadap berkas asli yang ditandatangi TPAK. Sempat saya bertanya apakah salinan surat yang saya pegang tidak diberi nomor surat? Petugas tersebut mengatakan tidak perlu karena sifatnya hanya konsultasi. Hasil ini kemudian saya bawa kembali ke Sudin Perizinan untuk dilanjutkan proses izinnya.

Lebih dari satu pekan setelahnya saya datang kembali ke Sudin menanyakan IMB yang saya ajukan. Dan ternyata berkas saya masih tertahan di Sudin P2B karena atap datar. Akhir lagi saya menjelaskan lagi isi Perda 7 kepada petugas P2B bahwa tidak ada larangan atap datar dan tidak ada anjuran atap tertentu pada Perda 7. Saya juga menjelaskan bahwa saya sudah memintakan rekomendasi dari TPAK. Beliau tetap tidak mau memproses izin saya karena surat rekomendasi yang saya peroleh dari TPAK tidak bernomor surat seakan mempertanyakan apakah izin yang saya peroleh resmi adanya. Selama dua pekan berulang kali saya hilir mudik dari kantor Sudin P2B ke Dinas P2B. Pihak Dinas P2B sempat bertanya bagaimana bisa berkas saya bisa masuk ke TPAK, Karena berkas yang ajukan tidak termasuk dalam kawasan pemugaran atau mempunyai luas setidaknya 1500 m2. Bangunan yang kami rancang memiliki luas 190 m2 dan dalam peruntukan lahan Wisma Kecil/Deret. Sempat saya bertanya tentang koordinasi antar instansi dan petugas karena saya hanya melakukan sesuai dengan saran yang diberikan oleh petugas yang terkait.

Disela-sela masa tersebut sempat petugas Dinas berujar bahwa keengganan mereka untuk meluluskan IMB beratap datar adalah karena ketakutan berubah peruntukan dari rumah tinggal menjadi ruko. Saya kemudian kembali menjelaskan bahwa UU no 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengancam pidana dan denda hingga miliaran rupaih saya apabila itu terjadi.

Pernah juga saya disarankan untuk "memperbaiki" gambar hanya untuk pengajuan izin dengan membubuhkan tambahan atap, walau berbeda dengan rencana yang hendak dilaksanakan. Sekedar untuk mendapatkan izin. Hal ini saya tolak mentah-mentah, karena hal ini yang hendak saya perjuangkan sejak dari awal berpraktek. Absurd, karena hal yang saya lakukan sesuai dan dilindungi oleh aturan yang ada, tetapi saya diminta untuk melanggar aturan agar mendapat secarik kertas legalisasi bernama IMB

Kerumitan administrasi ini kemudian terselesaikan setelah pada sebuah kesempatan saya berhasil bertemu Kepala Dinas P2B yang menyarankan bahwa nomor surat rekomendasi dikeluarkan oleh Sudin karena konsultasi TPAK diarahkan oleh Sudin yang bersangkutan.

Perjalanan panjang akhir berbuah juga. Alhamdulillah IMB saat ini sudah kami dapatkan sesuai dengan rencana yang akan dilaksanakan.