Sabtu, 25 April 2009

IGNORANCE IS A CRIME....

Jumat malam kemarin saya hadir menyimak presentasi Budi Lim yang berbagi kisah tentang etika konservasi. Ada sebuah kalimat yang terngiang hingga saat ini di telinga saya. Ignorance is a crime. Pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Hal ini bukan tanpa sebab beliau sampaikan, berkaca dari puluhan (bahkan mungkin ratusan) aset bangsa berupa bangunan tua di Jakarta Kota diabaikan terbelengkalai, bahkan beberapa diantaranya sudah tidak utuh lagi penampilannya.

Teringat saya pada kampung halaman. Potret yang serupa berulang disini. Begitu banyak bangunan yang indah, dibiarkan lapuk menanti saatnya runtuh. Beberapa yang telah runtuh digantikan oleh bangunan "saat kini" yang "bernilai" jauh lebih murah ketimbang bangunan yang dahulu diwariskan oleh orang tua kita.

Seperti saya sepakat, Pengabaian adalah sebuah kejahatan. Pengabaian adalah asal mula kecarut-marutan negeri ini. Bukan hanya bangunan tua yang bernilai yang diabaikan, tetapi banyak sekali nilai yang luhur yang menjadi jatidiri bangsa ini telah diabaikan.

Lihatlah sudah sejak 2004 bis TransJakarta beroperasi. Jalur khusus pun telah disiapkan dengan menelan dana yang tidak sedikit belum berhasil mengurai kemacetan Ibukota. Hal ini bukan tanpa sebab.

Sebabnya adalah aturan jalur khusus bis TransJakarta harus steril dari kendaraan yang lain telah berhasil diabaikan. Terutama oleh oknum polisi, DLLAJ dan tentu saja pengguna jalan yang tidak disiplin. Tidak sedikit yang menerabas masuk bahkan menggunakan kendaraan dengan plat merah. Pegawai pemerintah yang seharusnya taat aturan. Pada saat-saat seperti ini rindu saya dengan Gerakan Disiplin yang pernah dicanangkan oleh pemerintah masa lalu. Pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Sekian banyak pengabaian terjadi di depan mata, tanpa adalah satupun insan yang mau bergerak mengingatkan. Ingatkah kita dengan kematian seorang ibu dan anak di Sulawesi Selatan yang telah diabaikan haknya sebagai manusia hingga harus meninggal karena lapar. Tanggul yang jebol adalah sebab kewajiban yang diabaikan. Korupsi yang merajalera juga karena hati nurani telah diabaikan. Semakin sepakat saya bahwa pengabaian adalah sebuah kejahatan.

Teringat saya kepada sebuah hadits,
Jika terjadi kemungkaran di depan kamu, maka rubahlah dengan tanganmu.
Jika engkau tidak dapat merubah dengan tanganmu maka rubahlah dengan mulutmu.
Jika engkau tidak dapat merubah dengan mulutmu maka rubahlah dengan hatimu.
Maka itu sebenarnya adalah selemah-lemah iman.

Pesan apa yang hendak disampaikan dalam hadits tersebut?

Disebut LEMAH iman kita apabila kemungkaran di depan mata dan kita hanya berkata di dalam hati seraya diam. Ignorance is a crime....

Minggu, 05 April 2009

Pajak

Beberapa hari lalu saya menulis pandangan saya pada halaman jejaring sosial di dunia maya. Sebenar tulisan itu hanya sebuah komentar singkat mengenai musibah yang nampak masih rajin berkunjung ke rumah kita. Hanya saja musibah terakhir di Situ Gintung sepertinya datang atas "undangan" kita.

Mungkin saya tidak dapat menyembunyikan kekecewaan saya atas berbagai kejadian belakangan ini.

Ingatan saya melayang ke masa setahun silam. Ingatan yang sama yang membuat saya menulis di blog ini. Seorang ibu yang sedang mengandung beserta dua anaknya meninggal dunia karena sudah tidak kuasa menahan lapar. Sedang lurah setempat menolak membantu hanya karena secarik kertas bernama KTP yang berhasil mengalahkan kemanusiaan. Seingat saya ibu itu adalah juga seorang Indonesia.

Sekitar sebulan lalu seorang pengendara motor juga meninggal dunia karena motor yang dikendarai terperosok ke dalam lubang ketika sedang melintas di jalan protokol Ibukota. Sebelumnya ada ruas jalan yang sengaja di aspal karena seorang istri pejabat hendak datang berkunjung. Silahkan berkunjung ke tautan ini untuk membaca beritanya.

Saya merefleksikan dengan Umar bin Khattab, seorang pemimpin yang mampu menjaga amanah. Seorang pemimpin yang mengangkut sendiri karung bahan makanan untuk segera diantarkan kepada keluarga miskin yang sedang dilanda lapar. Disaat yang lain beliau juga pernah berujar bahwa bagaimana mungkin bisa kita mempertanggungjawabkan amanah sebagai pemimpin kehadapan Allah jikalau ular yang jalan melata bisa jatuh terjerembab karena jalan yang berlubang.

Kontras. Ironi yang membuat saya semakin sedih.

Semasa sebagian dari kita sudah mulai pusing mengisi laporan tahunan pajak, tanggul Situ Gintung jebol, setidaknya lebih dari 200 orang pergi menghadap Allah. Organ-organ pemerintah pun sibuk melempar tanggung jawab. Jebolnya tanggul bukanlah bencana alam. Bencana ini seharusnya tidak datang jika tanggul dipelihara dengan semestinya.

Musibah yang seharusnya tidak datang jikalau uang hasil pajak yang kita kumpulkan digunakan secara semestinya untuk mengentaskan kemiskinan, memperbaiki jalan-jalan, merawat bendungan demi kesejahteraan rakyat. Yang terjadi menurut pandangan saya adalah hal yang sebaliknya.

Lalu saya pun menulis pada status saya : Kira-kira apa gunanya bayar pajak ya? Tanggul tetap jebol, Jalan tetap saja berlubang, bahkan meminta korban setiap hari, lalu rakyat tetap miskin...?? gak ngerti...??


Tulisan singkat ini mengundang beragam tanggapan. Salah satunya yang menarik adalah tanggapan dari seorang sahabat saya yang bekerja di Dirjen Pajak. Dua kali beliau menulis pada dinding maya halaman rumah saya. Berikut adalah cuplikan tulisan beliau :

"Ariko sayang, pendapatan terbesar untuk membiayai negara ini berasal dari pajak, karena sektor migas kita sudah mengecil. Mengelola negara ini butuh dana yang besar sekali... Untuk membayar hutang kita yang segunung juga pakai pajak. Untuk membangun jalan yang berlubang itu juga pakai pajak. Subsidi-subsidi pakai pajak. We work very hard here... Masih gak ngerti jugakah? Kalo perlu pemyuluhan pajak, I'm ready, ok?"

Memang pajak kita yang membangun negeri ini. Lalu mengapa rakyat masih tetap miskin, masih setiap hari kita terancam keselamatan karena jalan yang berlubang, lalu tanggul tetap jebol.

Lalu kemana larinya pajak kita? ternyata sebagian dikutip oleh pejabat-pejabat kita yang juga menerima gaji yang tidak dapat dikatakan sedikit yang juga berasal dari pajak. Silahkan baca berita di sini

Semua hal ini memang tidak menggugurkan kewajiban kita untuk membayar pajak. Tetapi juga sudah tidak saatnya lagi kita terus-menerus ditagih kewajiban tetapi dilarang menuntut hak kita sebagai pembayar pajak. Seharusnya kita bangkit, dan membangun kesadaran sebagai pembayar pajak.

Sahabat saya itu kemudian juga membalas dalam tulisan di dinding rumah maya saya. "Ariko memandang suatu masalah dari sisi yang sempit. Sampai kapanpun orang jahat akan ada. Jangan menggeneralisasi. Saya sendiri melihat, mengetahui, dan merasakan perubahan besar menuju perbaikan dalam tubuh Direktorat Jenderal Pajak, suatu hal yang pernah dianggap hampir tidak mungkin."

Waduh, saya rasa ini bukan orang baik dan orang jahat. Tetapi bagaimana seharusnya kita membangun sistem yang baik, sebuah pondasi yang kuat dalam membangun negeri tercinta ini. Tidak dapat dibenarkan rakyat terus-menerus dimintakan pajak dan terus-menerus dirugikan dengan cara pengelolaannya. Bukankah Undang-undang Dasar kita mengamanatkan negara ini dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat? bukan untuk sebuah pemakluman?

Jikalau memang saya memandang masalah ini dari sudut pandang yang sempit sudah sedemikan parah masalah ini, maka saya semakin takut melihat lebih lebar. Saya takut dengan pemandangan yang lebih mengerikan yang mungkin saya temukan.