Selasa, 16 Juni 2009

Persegi Pendek

Omar ketika umur setahun mampu hafal banyak logo yang sering dia lihat dan menyebutkan ingatannya. Mulai dari seluruh operator seluler hingga perusahaan minyak milik negara. Hanya saja dia tidak mengucapkan nama perusahaan tersebut, tetapi "Pasti Pas", slogan yang selalu didengungkan perusahaan tersebut dalam berbagai media.

Omar juga sudah dapat menyebutkan angka-angka 1-10 dalam bahasa indonesia dan inggris. Beberapa alfabet sudah dikenali dengan baik.

Beberapa bulan terakhir Omar menunjukan minat dalam mengenali bentuk-bentuk geometri dan sifat-sifatnya. Segitiga, segi empat, lingkaran, bentuk hati, bintang juga bentuk sabit. Malam tadi dia berujar Persegi Panjang dan menjelaskan sifat yang lekat dalam persegi panjang. Setelah itu dia berujar tentang Persegi Pendek.

Saya pun merespon.
"tidak ada persegi pendek nak."
"yang ada hanya persegi panjang."

Tetapi dalam hati saya bertanya, kenapa tidak ada persegi pendek? bukankah seharusnya semua berpasangan, persegi panjang dan persegi pendek. Persegi panjang yang dibuat lebih pendek tetap saja disebut persegi panjang.

Omar, jadinya persegi pendek itu seperti apa ya?
Ayah jadi mau tahu?

Jumat, 05 Juni 2009

Jakarta 2014

Beberapa waktu yang lalu saya diminta teman-teman di Universitas Pancasila untuk berbicara pada sebuah seminar tentang Rumah Susun. Secara kebetulan saya penghuni rumah susun di dekat Jalan Thamrin. Pada kesempatan tersebut saya tidak membicarakan rumah susun dan problematikanya. Tetapi saya mencoba berpikir terbalik, saya mencoba melihat rumah susun sebagai kebutuhan dan sebagai jawaban terhadap berbagai masalah yang terus merundung Jakarta.

Saya memulaikan dengan membayangkan apa yang terjadi pada kota Jakarta dimasa depan. Atau setidaknya mencari perkiraan bagaimana wajah Jakarta 5 tahun mendatang. Maka saya coba mengetikkan kata kunci "jakarta 2014" pada mesin pencari google, dan hasilnya cukup mengejutkan saya.

Google menampilkan hasil pencarian yang semuanya merujuk kepada "kiamat" mobilitas di Jakarta. Sejumlah kajian mengatakan bahwa pada tahun 2014 Jakarta akan macet total. Pada masa itu mungkin ketika akan terjebak kemacetan begitu kita keluar dari garasi kita. Salah satu beritanya dapat dilihat di sini.

Untuk mengatasi kemacetan ini Dinas Tata Ruang DKI Jakarta (dahulu Dinas Tata Kota) menyiapkan 4 skenario.

Skenario 1: Jaringan Full Development.

Diasumsikan, jalan tol akses Tanjung Priok, jalan tol Cikarang-Tanjung Priok, jalan tol Depok-Antasari, berbagai jalan tembus, jalan sejajar, missing link, dan jalan lingkar luar Jakarta sudah tersambung. Kemacetan hanya dapat turun 2,32 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan di Jakarta meningkat 3,80 km/jam, yakni dari 26,48 km/jam menjadi 30,18 km/jam.

Skenario 2: Jaringan full development + Pembangunan 6 koridor jalan tol dalam kota.

Pengembangan dari skenario 1 plus 6 koridor jalan tol dalam kota. Kemacetan dapat turun 18,66 persen. Kecepatan laju kendaraan meningkat menjadi 33,76 km/jam.

Skenario 3: Skenario 2 + pengembangan angkutan umum.

Pengembangan dari skenario 2 plus pembangunan angkutan umum massal seperti busway, monorel, subway, dan perbaikan angkutan kereta api Jabodetabek. Penurunan kemacetan sekitar 44,7 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan meningkat menjadi 36,51 km/jam.

Skenario 4: Skenario 3 + penerapan traffic restraint.

Pengembangan skenario 3 plus pemberlakuan kawasan pembatasan lalu lintas pada berbagai pusat bisnis. Menurunkan kemacetan hingga 55,3 persen. Kecepatan rata-rata laju kendaraan bisa mencapai 38,88 km/jam.


Semua skenario yang disiapkan Dinas Tata Ruang hampir semuanya bersifat membangun jalan-jalan baru, karena dasar berpikirnya masih berlandaskan rasio jumlah mobil dan luas jalan yang tersedia.

Padahal menurut hemat saya membangun lebih banyak jalan tidak akan memecah masalah kemacatan di Jakarta, justru akan memperluas area kemacetan. Dalam salah satu poster kampanyenya, Yayasan Pelangi menganalogikan kemacetan yang sebagai tubuh yang kegemukan dan luas jalan sebagai ukuran pakaian yang digunakan. Tidak mungkin kita terus-menerus mengganti ukuran pakaian lebih besar karena tubuh yang kian gemuk.

Poster kampanye Yayasan Pelangi dapat dilihat di sini



Kerugian akibat kemacetan yang sudah menjadi rutinitas Jakarta mencapai 8,3 triliun rupiah per tahun. Perhitungan tersebut didapatkan dari konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor, potensi produktivitas yang hilang dan biaya kesehatan. Jika kerusakan lingkungan akibat kemacetan di Jakarta termasuk komponen yang dihitung maka saya memperkirakan angka kerugian yang kita alami setiap tahunnya akan membludak.

Beberapa cara yang dapat menyelesaikan keruwetan macetnya Jakarta adalah dengan menyediakan moda transportasi massal yang dapat diandalkan dan dikelola dengan baik. Solusi lain yang menurut saya dapat secara signifikan menyehatkan kota kita adalah ide Kembali Tinggal di Kota

Lebih dari dua juta jiwa yang sehari-hari beraktivitas di dalam kota tinggal di luar Jakarta, seperti Bekasi, Bogor, Tangerang dan area sekitarnya. Seakan daerah-daerah tersebut menjadi asrama bagi penduduk Jakarta. Padatnya lalu lintas di Jakarta karena setiap harinya kendaraan yang masuk ke Jakarta mencapai 600rb unit kendaraan. Angka tersebut belum termasuk dengan angka kendaraan yang berasal dari dalam Jakarta sendiri.

Ketimbang membangun lebih banyak jalan saya lebih cenderung untuk meningkatkan hunian di tengah kota sehingga mobilitas warga kota dengan kendaraan prinadi dapat di tekan. Oleh karenanya Jakarta perlu menata ulang tata ruang kotanya. Izin membangun rumah tinggal juga sepertinya perlu ditinjau ulang, terlebih pada kawasan-kawasan yang berdekatan dengan pusat-pusat aktivitas.



Izin bangunan untuk rumah tinggal dengan ketinggian dua lantai selayaknya sudah mulai dikurangi. Sudah saatnya Jakarta mengadopsi hunian lebih dari 2 lapis, dalam rangka penyediaan hunian di tengah kota. Hal ini kemudian mengapa rumah susun murah untuk kalangan menengah, yang dekat dengan pusat aktivitasnya sepertinya dapat menjadi solusi yang baik. Rumah susun seperti yang di Kebon Kacang, Tanah Abang, Pejompongan, Bendungan Hilir dan beberapa tempat lainnya sepertinya perlu di duplikasi di beberapa tempat lainnya, dengan memperhatikan kepadatan, daya dukung lingkungan serta beban sosial.

Saya membayangkan Jakarta masa depan, yang hijau, tidak lagi bergantung dengan kendaraan bermotor pribadi dalam mobilisasi. Semuanya dapat dijangkau dengan jalan kaki lengkap dengan pedestrian yang baik dan rindang serta jalur untuk pengendara sepeda. Dan tempat-tempat di Jakarta semua sudah terhubung dengan sistem transportasi cepat masal. Anak-anak dapat bermain riang, karena tersedia cukup ruang untuk bermain. Begitu juga sudah tidak ada lagi daerah yang tergenang air, karena semua sudah terserap tanah.

Hmm...
Entah kapan....