Kamis, 23 Juli 2015

Tata Ruang Kota Islami

Setelah pelaksanaan Kongres Umat Islam, Februari lampau, sebuah email masuk ke alamat sekretariat IAI Jakarta, permohonan wawancara dalam menyikapi salah satu hasil kongres di Yogyakarta. Berikut email tersebut :

Assalamualaikum wr wb

Selamat sore

Perkenalkan saya Muhammad Iqbal dari Harian Republika. Melalui email ini saya ingin mengajukan wawancara singkat untuk menindaklanjuti hasil Kongres Umat Islam Indonesia (KUUI) VI di Yogyakarta yang secara resmi ditutup kemarin.  Salah satu rekomendasi yang dihasilkan kongres seputar penguatan peran sosial budaya umat Islam Indonesia yaitu KUUI mengusulkan perlu adanya revitalisasi arsitektur dan lanskap tata ruang islami. 

Ketua Komisi C KUII Yunahar Ilyas mengatakan, arsitektur dan lanskap tata ruang di kota-kota besar jauh dari Islami.  Kondisi itu berbeda dengan zaman kesultanan Yogyakarta yang menempatkan masjid bersebelahan dengan keraton, pusat pemerintahan dan pasar.  Bagaimana IAI Jakarta menanggapi rekomendasi KUUI VI? Adakah saran maupun usulan perihal arsitektur dan lanskap tata ruang Islami seperti yang dijelaskan di atas? 

Terima kasih atas penjelasan, kerja sama dan keluangan waktu yang diberikan

salam

Wassalamualaikum wr wb  
 dan berikut tanggapan saya, mewakili pengurus IAI Jakarta :

Mas Iqbal,

terima kasih atas emailnya.

Kami menyambut baik hasil rekomendasi kongres umat Islam, khusus yang terkait dengan arsitektur dan tata ruang kota kota. Hal ini menjadi sangat menarik, dan dapat menjadi titik balik dalam membangun dialog arsitektur dan kota dalam tujuan membangun kemaslahatan bagi umat.

Arsitektur di dalam Islam dalam hal bentuk sebenarnya sangat adaptif, jikalau menilik sejarah. Penggunaan kubah misalnya yang sering di"pinjam" menjadi simbol/semiotika arsitektur Islam adalah pinjaman dari karya-karya arsitektur zaman Byzantium, yang kemudian dikembangkan kembali pada masa Turki Usmani. Hagia Sofia misalnya, dahulu adalah gereja, yang sudah menggunakan kubah yang kemudian pada masa Turki Usmani berubah fungsi sebagai masjid, dan saat ini berfungsi sebagai museum. Setelahnya seperti yang bersama kita ketahui hari ini seolah-olah kubah seperti menjadi elemen "wajib" pada bangunan masjid.

Padahal arsitektur di dalam Islam bertumpu kepada kesederhanaan, bercermin pada masjid kuba, dan masjid nabawi pada zaman Rasulullah, juga tercermin dari bentuk kabah yang sangat sederhana dan modern. Hal ini pula mungkin menjadi nafas dalam beberapa karya arsitektur masjid modern di Indonesia, kesederhanaan dan modernitas masjid Salman ITB, atau masjid Said Naum (yang mendapatkan Aga Khan Award for Architecture) yang beranjak dari bentuk limasan sebagai bentuk umum masjid di Jawa dan beberapa daerah di Nusantara. Masjid Sultan di Singapura dahulu juga meminjam bentuk limasan ini sebelum berubah dengan masjid berkubah.

Limasan pada masjid di jawa juga "pinjaman" dari bentukan meru pada masa Hindu-Budha. Hal ini pula yang sebenarnya memperlihatkan kepada kita bagaimana adaptifnya arsitektur Islam.

Dalam hal pada tata ruang perkotaan, dengan mengacu contoh tata letak masjid dan keraton di Yogyakarta dan hal yang serupa juga terjadi pada alun-alun di sejumlah karesidenan (dipimpin oleh residen/bupati) di Jawa adalah perpaduan peminjaman tata ruang pada masa Majapahit dan kolonial.

Belanda juga melakukan hal yang serupa. Lihat contoh Stadhuis (balaikota; sekarang museum Sejarah Jakarta) yang berapa pada ruang terbuka, dimana disisi Barat diletakkan Gereja (saat ini menjadi museum Wayang). Ketika admistrasi pemerintah Hindia Belanda pindah ke Waltervreden, di depan Istana gubernur jenderal Belanda (saat ini menjadi gedung Kementrian Keuangan RI) di depannya ada "alun-alun" atau ruang terbuka yang kini bernama Lapangan Banteng. Sebelah utara alun-alun itu juga terdapat Gereja Katedral. 

Bahwa pola kedekatan, bangunan ibadah dengan pusat pemerintahan tidak menjadi monopoli kerajaan Islam di Jawa, namun juga sudah digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa lalu.

Pola keraton (atau pendopo bupati/ dan kantor pemerintah), masjid (atau gereja) dan alun-alun, hanya terjadi di Jawa. sedang pada masyarakat diluar Jawa sangat berbeda polanya.

Masyarakat minangkabau misalnya memiliki pola yang berbeda. Surau menjadi titik sentral dalam pendidikan masyarakat di Minangkabau. Pola perletakkan surau sangat memperhatikan pola sebaran masyarakatnya. Bentuk dan posisinya pun sangat sederhana namun mampu memainkan peranan sentral di tengah masyarakat. Di surau inilah pemuda (yang belum menikah) tinggal dan belajar secara komunal.

Lihat pula letak surau Kyai Ahmad Dahlan di kauman Yogya, sederhana namun mampu memainkan peran hingga pelosok negeri. Atau mushola/surau pada masyarakat perkotaan kita, walau dikelola secara mandiri namun juga berperan sebagai "community center". Sayangnya beberapa masjid/surau yang dikelola mandiri tersebut kita temukan justru melanggar aturan ruang kota, seperti aturan sempadan atau mengokupansi jalan umum seakan-akan menjadi milik masjid. Disinilah menurut kami hasil kongres menjadi sebuah awalan yang baik untuk mendiskusikan dan mulai membenahi agar wujud masjid-masjid tersebut sesuai dengan kaidah arsitektur dan ruang kota yang baik, sebagai perwujudan Islam, rahmatan lil Alamin

Namun ketika membicarakan arsitektur dan tata ruang kota yang Islami rasanya jangan kita batasi hanya pada pembahasan masjid dan/atau langgam (gaya arsitektur)-nya saja. Kami ingin mengajak diskusi ini menjadi lebih lebar dan lebih dalam secara makna. 

Seyogyanya penilaian arsitektur dan tata kota yang Islami dinilai berdasarkan sejauh mana sebuah karya arsitektur dan ruang kota dapat memberikan kontribusi kepada kemaslahatan umat atau warga kotanya. Kemaslahatan ini bisa saja datang dari perspektif yang beragam namun harus kualitatif. 

Penilaian ini pula lah yang menjadi salah satu kriteria penilaian utama Aga Khan Award for Architecture (dapat dilihat rangkumannya di tautan ini http://www.akdn.org/architecture/ ). Dahulu ada beberapa karya arsitektur di Indonesia yang berhasil mendapatkan penghargaan ini, di antaranya penataan Kali Code, Yogyakarta; Citra Niaga Samarinda, Masjid Said Naum Jakarta; Landscape Bandara Soekarno-Hatta; Pesantren Gontor, serta beberapa karya lainnya.

Ketika ruang kota dan arsitektur sudah menjadi perhatian khalayak ramai, maka ini adalah sebuah indikasi baik bagi kota dan arsitektur kita. Oleh karena itu apabila dibutuhkan kami, IAI insya Allah bersedia memberikan sumbangsih saran dan pemikiran demi terwujudnya ruang kota dan karya arsitektur yang baik, yang akan memberikan kita manfaat dan menjadi kebanggaan kita semua.