Kamis, 24 Januari 2019

Medan (Belum) Menjadi Kota Pejalan Kaki

Kemarin pagi saya singgah di Medan untuk menghadiri sebuah pertemuan. Saya berangkat dengan penerbangan pertama sekali sehingga pagi saya sudah tiba di Kualanamu. Dari bandara saya meneruskan perjalanan menuju kota Medan menggunakan kereta api, dengan waktu tempuh kurang lebih satu jam.

Setelah tiba di stasiun di dekat lapangan Merdeka, baru saya mencari tahu lokasi pertemuan. Sesuai petunjuk peta sebenarnya tidak terlampau jauh, kurang lebih satu kilometer, dan rasanya bisa saya tempuh kurang dari 10 menit. Ada memang yang menawarkan tumpangan, taksi dan becak motor juga tersedia. Tetapi karena saya semenjak kecil dibiasakan berjalan kaki, ya sudah, jalan saja.

Orang Medan agaknya tidak terbiasa berjalan kaki. Sekedar pengamatan pandangan mata saja. Jalan-jalan ramai dengan kendaraan bermotor, sekalipun hingga macet, tetapi pejalan kaki terlihat sedikit sekali. Hampir di banyak tempat jalur pedestrpede dijadikan lahan parkir kendaraan bermotor, tidak sedikit yang memagarnya. Tidak dengan tembok permanen tentu, ada yang menggunakan rantai besi, susunan pot tanaman sehingga saya dipaksa untuk sedikit memutar ketika melintas di area tersebut. Tidak jarang pula pemotor melanggar jalur pedestarian untuk memotong jalan sekalipun bukan peruntukannya. 





Disinilah terasa agak kurangnya visi dalam mengelola ruang kota di Medan, sekalipun Medan adalah kota besar dan menjadi rujukan di Sumatera. Beberapa kali saya singgah ke Medan namun tidak mampu saya mengingat pada penggalan jalan yang mana di Medan saya nyaman dan menikmati berjalan kaki.

Rabu, 11 Juli 2018

Tepuk Nyamuk

Hari kutepuk sejiwa melayang.
Mahluk yang tiada adab ingin menghabiskan kadar cinta dalam aliran darah.

Rasa yang susah payah ku simpan dan jaga agar tidak binasa.
Setidak untuk 3 masa kemudian.
Hari ini kutepuk sejiwa melayang

Rabu, 09 November 2016

Diskusi Maya

Hari ini saya merindukan suasana di awal tahun 2000an dimana diskursus melalui milis mulai marak sedang hari ini sudah bergeser ke dalam grup-grup kecil baik melalui whatsapp, bbm atau melalui media sosial.

Diskusi melalui milis tidak dituntut untuk gegas merespon, boleh diendapkan dahulu topik atau isu yang sedang diperbincangkan, dipikirkan apa yang akan disampaikan sehingga ada kecenderungan diskursus berlansung bernas, walau agak lama dan panjang namun mendalam.

Milis walaupun secara medium dilakukan secara maya, namun ada terbangun kesadaran bahwa kehadirannya ada di ruang publik sehingga secara alamiah berlaku pula norma dan etika bertatalaku di ruang publik maya. layaknya ruang publik maka isi kepalanya pun beragam, dan kecenderungan heterogen.

Hari ini diskusi-diskusi tersebut sudah lebih banyak bergeser ke dalam ekosistem yang lebih kecil melalui aplikasi kirim pesan seperti whatsapp dan sejenisnya. Mulai ada kecenderungan homogen karena berkumpul atas dasar minat dan pemahaman yang serupa, dan dituntut untuk gegas merespon. Terlambat memberikan respon, topik pembicaraan bisa saja sudah bergeser ke utara, atau barang kali ke barat. Respon yang terburu-buru mungkin yang membuat diskusi seperti tidak lagi dirasa mendalam.

Sedang diskusi di media sosial memang tidak dituntut untuk gegas, karena dapat melekat dalam waktu yang agak panjang, namun yang hilang adalah sifatnya sebagai ruang publik.

Media sosial seperti facebook misalnya serasa membuat yang bersangkutan seperti di halaman pekarangannya sendiri, masih di dalam pagar, namun dapat berinteraksi dengan orang yang lalu lalang dijalan di depannya. Ada kalanya satu atau dua orang membuka kedai di halaman itu dengan harapan orang yang melintas ada yang terpikat dan berhenti sejenak.

Tetapi tidak pula sedikit pula yang berlaku layaknya kanak-kanak yang sedang bermain di kamar di lantai 2. Melihat keluar jendela, ada tukang bakso yang lewat seraya teriak memanggil "Bang bakso, beli..!!" lalu lari bersembunyi sambil terkekeh melihat tingkah si abang bakso yang bingung mencari dari mana asalnya suara.

Kamis, 18 Agustus 2016

dirimu

Dirimu,
Adalah alasan mengapa aku berada ditengah padang
ke tengah gelanggang kau tarik diriku serta
dari satu pertarungan menuju lainnya
bergumul kita dengan masa

Dalam masa,
satu per satu kepingan kita rajut
semakin lama semakin dalam
dari satu petunjuk menuju lainnya
semakin lama jenuh datang

ya memang, kuteruskan pertarungan itu
Di dalam pertarungan yang tiada nyata ini saja
aku kehilangan mu
Entah apa jadinya kalau kenyataan yang menghampiri
selalu dapat kupasang paras berpura-pura
walau hati tiada pernah bisa kukelabui

Senin, 25 Juli 2016

Ah Januari....

Ah Januari,
Entah rasa apa yang harus kutanam padamu

pada masa pertama,
orang menghamburkan pesta,
banyak yang tergelak tiada mengerti mengapa
masa keduamu ada senyum bahagia,
ketika cinta telah berbuah kali pertama
dalam dekapan mencari kehangatan
dua pasang mata saling memandang
kali pertama mencoba untuk berkenalan

namun masa ketiga menjelang akhirmu 
airmata kujadikan tinta dalam ingatan batinku
akan kedua buah bola mata sayu
yang dahulu pernah tajam memandang hidup
akan kulit berkerut yang dahulu keras dan kasar
tempat kami menyandarkan hidup
akan kedua kaki renta yang dahulu kuat menopang
akan sebuah jiwa besar
yang dahulu kami berenang-renang di dalamnya

pada masa ke empat,
adalah kali pertama kupekakan tangis

Ah Januari...
kutulis engkau di bulan Juli

Kamis, 23 Juli 2015

Tata Ruang Kota Islami

Setelah pelaksanaan Kongres Umat Islam, Februari lampau, sebuah email masuk ke alamat sekretariat IAI Jakarta, permohonan wawancara dalam menyikapi salah satu hasil kongres di Yogyakarta. Berikut email tersebut :

Assalamualaikum wr wb

Selamat sore

Perkenalkan saya Muhammad Iqbal dari Harian Republika. Melalui email ini saya ingin mengajukan wawancara singkat untuk menindaklanjuti hasil Kongres Umat Islam Indonesia (KUUI) VI di Yogyakarta yang secara resmi ditutup kemarin.  Salah satu rekomendasi yang dihasilkan kongres seputar penguatan peran sosial budaya umat Islam Indonesia yaitu KUUI mengusulkan perlu adanya revitalisasi arsitektur dan lanskap tata ruang islami. 

Ketua Komisi C KUII Yunahar Ilyas mengatakan, arsitektur dan lanskap tata ruang di kota-kota besar jauh dari Islami.  Kondisi itu berbeda dengan zaman kesultanan Yogyakarta yang menempatkan masjid bersebelahan dengan keraton, pusat pemerintahan dan pasar.  Bagaimana IAI Jakarta menanggapi rekomendasi KUUI VI? Adakah saran maupun usulan perihal arsitektur dan lanskap tata ruang Islami seperti yang dijelaskan di atas? 

Terima kasih atas penjelasan, kerja sama dan keluangan waktu yang diberikan

salam

Wassalamualaikum wr wb  
 dan berikut tanggapan saya, mewakili pengurus IAI Jakarta :

Mas Iqbal,

terima kasih atas emailnya.

Kami menyambut baik hasil rekomendasi kongres umat Islam, khusus yang terkait dengan arsitektur dan tata ruang kota kota. Hal ini menjadi sangat menarik, dan dapat menjadi titik balik dalam membangun dialog arsitektur dan kota dalam tujuan membangun kemaslahatan bagi umat.

Arsitektur di dalam Islam dalam hal bentuk sebenarnya sangat adaptif, jikalau menilik sejarah. Penggunaan kubah misalnya yang sering di"pinjam" menjadi simbol/semiotika arsitektur Islam adalah pinjaman dari karya-karya arsitektur zaman Byzantium, yang kemudian dikembangkan kembali pada masa Turki Usmani. Hagia Sofia misalnya, dahulu adalah gereja, yang sudah menggunakan kubah yang kemudian pada masa Turki Usmani berubah fungsi sebagai masjid, dan saat ini berfungsi sebagai museum. Setelahnya seperti yang bersama kita ketahui hari ini seolah-olah kubah seperti menjadi elemen "wajib" pada bangunan masjid.

Padahal arsitektur di dalam Islam bertumpu kepada kesederhanaan, bercermin pada masjid kuba, dan masjid nabawi pada zaman Rasulullah, juga tercermin dari bentuk kabah yang sangat sederhana dan modern. Hal ini pula mungkin menjadi nafas dalam beberapa karya arsitektur masjid modern di Indonesia, kesederhanaan dan modernitas masjid Salman ITB, atau masjid Said Naum (yang mendapatkan Aga Khan Award for Architecture) yang beranjak dari bentuk limasan sebagai bentuk umum masjid di Jawa dan beberapa daerah di Nusantara. Masjid Sultan di Singapura dahulu juga meminjam bentuk limasan ini sebelum berubah dengan masjid berkubah.

Limasan pada masjid di jawa juga "pinjaman" dari bentukan meru pada masa Hindu-Budha. Hal ini pula yang sebenarnya memperlihatkan kepada kita bagaimana adaptifnya arsitektur Islam.

Dalam hal pada tata ruang perkotaan, dengan mengacu contoh tata letak masjid dan keraton di Yogyakarta dan hal yang serupa juga terjadi pada alun-alun di sejumlah karesidenan (dipimpin oleh residen/bupati) di Jawa adalah perpaduan peminjaman tata ruang pada masa Majapahit dan kolonial.

Belanda juga melakukan hal yang serupa. Lihat contoh Stadhuis (balaikota; sekarang museum Sejarah Jakarta) yang berapa pada ruang terbuka, dimana disisi Barat diletakkan Gereja (saat ini menjadi museum Wayang). Ketika admistrasi pemerintah Hindia Belanda pindah ke Waltervreden, di depan Istana gubernur jenderal Belanda (saat ini menjadi gedung Kementrian Keuangan RI) di depannya ada "alun-alun" atau ruang terbuka yang kini bernama Lapangan Banteng. Sebelah utara alun-alun itu juga terdapat Gereja Katedral. 

Bahwa pola kedekatan, bangunan ibadah dengan pusat pemerintahan tidak menjadi monopoli kerajaan Islam di Jawa, namun juga sudah digunakan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada masa lalu.

Pola keraton (atau pendopo bupati/ dan kantor pemerintah), masjid (atau gereja) dan alun-alun, hanya terjadi di Jawa. sedang pada masyarakat diluar Jawa sangat berbeda polanya.

Masyarakat minangkabau misalnya memiliki pola yang berbeda. Surau menjadi titik sentral dalam pendidikan masyarakat di Minangkabau. Pola perletakkan surau sangat memperhatikan pola sebaran masyarakatnya. Bentuk dan posisinya pun sangat sederhana namun mampu memainkan peranan sentral di tengah masyarakat. Di surau inilah pemuda (yang belum menikah) tinggal dan belajar secara komunal.

Lihat pula letak surau Kyai Ahmad Dahlan di kauman Yogya, sederhana namun mampu memainkan peran hingga pelosok negeri. Atau mushola/surau pada masyarakat perkotaan kita, walau dikelola secara mandiri namun juga berperan sebagai "community center". Sayangnya beberapa masjid/surau yang dikelola mandiri tersebut kita temukan justru melanggar aturan ruang kota, seperti aturan sempadan atau mengokupansi jalan umum seakan-akan menjadi milik masjid. Disinilah menurut kami hasil kongres menjadi sebuah awalan yang baik untuk mendiskusikan dan mulai membenahi agar wujud masjid-masjid tersebut sesuai dengan kaidah arsitektur dan ruang kota yang baik, sebagai perwujudan Islam, rahmatan lil Alamin

Namun ketika membicarakan arsitektur dan tata ruang kota yang Islami rasanya jangan kita batasi hanya pada pembahasan masjid dan/atau langgam (gaya arsitektur)-nya saja. Kami ingin mengajak diskusi ini menjadi lebih lebar dan lebih dalam secara makna. 

Seyogyanya penilaian arsitektur dan tata kota yang Islami dinilai berdasarkan sejauh mana sebuah karya arsitektur dan ruang kota dapat memberikan kontribusi kepada kemaslahatan umat atau warga kotanya. Kemaslahatan ini bisa saja datang dari perspektif yang beragam namun harus kualitatif. 

Penilaian ini pula lah yang menjadi salah satu kriteria penilaian utama Aga Khan Award for Architecture (dapat dilihat rangkumannya di tautan ini http://www.akdn.org/architecture/ ). Dahulu ada beberapa karya arsitektur di Indonesia yang berhasil mendapatkan penghargaan ini, di antaranya penataan Kali Code, Yogyakarta; Citra Niaga Samarinda, Masjid Said Naum Jakarta; Landscape Bandara Soekarno-Hatta; Pesantren Gontor, serta beberapa karya lainnya.

Ketika ruang kota dan arsitektur sudah menjadi perhatian khalayak ramai, maka ini adalah sebuah indikasi baik bagi kota dan arsitektur kita. Oleh karena itu apabila dibutuhkan kami, IAI insya Allah bersedia memberikan sumbangsih saran dan pemikiran demi terwujudnya ruang kota dan karya arsitektur yang baik, yang akan memberikan kita manfaat dan menjadi kebanggaan kita semua.

Minggu, 24 Maret 2013

Menakar Masa Depan Profesi Arsitek di Indonesia


Entah apakah secara bersama kita sadari atau tidak, namun masa depan profesi Arsitek di Indonesia memasuki fase yang perlu kita waspadai (jikalau tidak ingin disebut mengkhawatirkan). Karena hingga saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara di dalam lingkup ASEAN yang belum memiliki UU Arsitek. Indonesia pula menjadi satu-satunya negara di dunia dimana pendidikan arsitekturnya tidak sesuai dengan standar yang di tetapkan UIA.


Pendidikan arsitektur di Indonesia seperti halnya pendidikan tinggi strata-1 lainnya dilakukan dalam waktu 4 tahun. Sedangkan UIA mensyaratkan pendidikan profesi arsitek dilakukan selama 5 tahun + 2 tahun pemagangan. Ketimpangan ini berakibat tidak diakuinya atau ketidaksetaraan lulusan jurusan arsitektur dalam negeri apabila hendak berkiprah di luar negeri, baik dalam rangka pendidikan lanjut atau dalam rangka praktek arsitektur. Satu-satunya pendidikan strata-1 yang berbeda adalah Jurusan Kedokteran. Dimana sebelum lulus, calon dokter harus melakukan Koas di rumah sakit dan setelah lulus wajib melakukan PTT sebelum bisa mendapatkan izin praktek sebagai dokter. Namun perlu diingat, hal tersebut juga diatur dalam UU Kedokteran, sedang untuk praktek arsitektur kita belum memiliki UU Arsitek.

Memang pengupayaan dan pembahasan UU Arsitek sudah berlangsung semenjak lama. Sudah pula masuk di dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai hak inisiatif DPR, namun kini RUU Arsitek sudah pula terlempar dari prolegnas, walaupun sebelumnya telah mendapat dukungan dari kementerian terkait maupun dukungan dari presiden. Justru yang mengemuka belakangan ini dan sedang dibahas di DPR dan DPD adalah RUU Keinsyinyuran yang diusung Persatuan Insyinyur Indonesia (PII) dimana profesi arsitek dimasukkan di dalamnya. Walau setiap insan  arsitektur faham dan mengerti bahwa bidang arsitektur sangat berbeda dengan bidang keteknikan lainnya, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa selayaknya di perguruan tinggi Arsitektur berdiri dalam fakultas tersendiri tidak bergabung dengan fakultas teknik seperti saat ini.

Terlemparnya RUU Arsitek dari prolegnas, dari sekian banyak faktor penyebabnya dalam pandangan saya pribadi diantaranya saya mensinyalir sebagai akibat dari hiruk-pikuk pemilihan Ketua Umum IAI beberapa waktu yang lampau. Walau mungkin bukan figur ketua yang menjadi permasalahan utama, tetapi ketidaksepahaman mengenai beberapa isu seperti bagaimana seharusnya asosiasi profesi arsitek berlaku dan bagaimana seharusnya peran anggota dalam organisasi tampak mengemuka. Keinginan beberapa pengurus daerah IAI agar tata cara pemilihan digeser dari satu anggota satu suara sesuai dengan AD/ART IAI menjadi cukup 1 suara diwakili oleh pengurus daerah, dalam pandangan saya adalah penyebab utama kebuntuan pada Munas IAI di Balikpapan. Kebuntuan di Balikpapan inilah menyebabkan IAI tidak memiliki nakhoda selama kurang lebih 7 bulan, sehingga urungnya pembahasan RUU Arsitek di DPR.

Tantangan berikutnya adalah adanya ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Architectural Services, yang memungkinkan praktek arsitek lintas batas antar negara ASEAN. Kesiapan kita dalam menghadapi ASEAN MRA pada tahun 2015 turut menjadi pertanyaan saya, mengingat kurikulum pendidikan arsitektur kita belum memenuhi syarat yang ditetapkan UIA dan ketiadaan UU Arsitek saat ini.

Berkaca dari kenyataan saat ini, walaupun belum dalam skema ASEAN MRA, arsitek asing telah berhasil merajai praktek arsitektur di Indonesia. Maka apabila kita tidak bersiap secara segera saya khawatir kita tidak lagi dapat lagi merebut tempat sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Masa depan profesi arsitek bergantung kepada kita semua. Jikalau kita acuh maka persiapkan diri untuk segera tergilas.