Minggu, 24 Maret 2013

Menakar Masa Depan Profesi Arsitek di Indonesia


Entah apakah secara bersama kita sadari atau tidak, namun masa depan profesi Arsitek di Indonesia memasuki fase yang perlu kita waspadai (jikalau tidak ingin disebut mengkhawatirkan). Karena hingga saat ini Indonesia adalah satu-satunya negara di dalam lingkup ASEAN yang belum memiliki UU Arsitek. Indonesia pula menjadi satu-satunya negara di dunia dimana pendidikan arsitekturnya tidak sesuai dengan standar yang di tetapkan UIA.


Pendidikan arsitektur di Indonesia seperti halnya pendidikan tinggi strata-1 lainnya dilakukan dalam waktu 4 tahun. Sedangkan UIA mensyaratkan pendidikan profesi arsitek dilakukan selama 5 tahun + 2 tahun pemagangan. Ketimpangan ini berakibat tidak diakuinya atau ketidaksetaraan lulusan jurusan arsitektur dalam negeri apabila hendak berkiprah di luar negeri, baik dalam rangka pendidikan lanjut atau dalam rangka praktek arsitektur. Satu-satunya pendidikan strata-1 yang berbeda adalah Jurusan Kedokteran. Dimana sebelum lulus, calon dokter harus melakukan Koas di rumah sakit dan setelah lulus wajib melakukan PTT sebelum bisa mendapatkan izin praktek sebagai dokter. Namun perlu diingat, hal tersebut juga diatur dalam UU Kedokteran, sedang untuk praktek arsitektur kita belum memiliki UU Arsitek.

Memang pengupayaan dan pembahasan UU Arsitek sudah berlangsung semenjak lama. Sudah pula masuk di dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) sebagai hak inisiatif DPR, namun kini RUU Arsitek sudah pula terlempar dari prolegnas, walaupun sebelumnya telah mendapat dukungan dari kementerian terkait maupun dukungan dari presiden. Justru yang mengemuka belakangan ini dan sedang dibahas di DPR dan DPD adalah RUU Keinsyinyuran yang diusung Persatuan Insyinyur Indonesia (PII) dimana profesi arsitek dimasukkan di dalamnya. Walau setiap insan  arsitektur faham dan mengerti bahwa bidang arsitektur sangat berbeda dengan bidang keteknikan lainnya, tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa selayaknya di perguruan tinggi Arsitektur berdiri dalam fakultas tersendiri tidak bergabung dengan fakultas teknik seperti saat ini.

Terlemparnya RUU Arsitek dari prolegnas, dari sekian banyak faktor penyebabnya dalam pandangan saya pribadi diantaranya saya mensinyalir sebagai akibat dari hiruk-pikuk pemilihan Ketua Umum IAI beberapa waktu yang lampau. Walau mungkin bukan figur ketua yang menjadi permasalahan utama, tetapi ketidaksepahaman mengenai beberapa isu seperti bagaimana seharusnya asosiasi profesi arsitek berlaku dan bagaimana seharusnya peran anggota dalam organisasi tampak mengemuka. Keinginan beberapa pengurus daerah IAI agar tata cara pemilihan digeser dari satu anggota satu suara sesuai dengan AD/ART IAI menjadi cukup 1 suara diwakili oleh pengurus daerah, dalam pandangan saya adalah penyebab utama kebuntuan pada Munas IAI di Balikpapan. Kebuntuan di Balikpapan inilah menyebabkan IAI tidak memiliki nakhoda selama kurang lebih 7 bulan, sehingga urungnya pembahasan RUU Arsitek di DPR.

Tantangan berikutnya adalah adanya ASEAN Mutual Recognition Arrangement on Architectural Services, yang memungkinkan praktek arsitek lintas batas antar negara ASEAN. Kesiapan kita dalam menghadapi ASEAN MRA pada tahun 2015 turut menjadi pertanyaan saya, mengingat kurikulum pendidikan arsitektur kita belum memenuhi syarat yang ditetapkan UIA dan ketiadaan UU Arsitek saat ini.

Berkaca dari kenyataan saat ini, walaupun belum dalam skema ASEAN MRA, arsitek asing telah berhasil merajai praktek arsitektur di Indonesia. Maka apabila kita tidak bersiap secara segera saya khawatir kita tidak lagi dapat lagi merebut tempat sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Masa depan profesi arsitek bergantung kepada kita semua. Jikalau kita acuh maka persiapkan diri untuk segera tergilas.

Tidak ada komentar: